Selasa, 08 Juni 2010
studio
TUGAS SALLES DAN MARKETING
OLEH :FAROBI BILHAQ
N.I.M : 44108010061
Jenis usaha : studio musik mencakup studio rekaman “BILHAQ STUDIO”
Analisa Peluang
Di daerah saya tepatnya di komplek taman pinang indah tangerang saya melihat banyak sekali anak-anak remaja yang gemar sekali untuk bermain musik. Hal tersebut dapat terlihat ketika saya dan ayah saya mengadakan suatu acara konser musik “SOUND BLAST” di kompek kami pada saat musim liburan sekolah,di tahun pertama tepatnya tahun 2008 ada skitar 20 band yang ikut memeriahkan acara tersebut,hal tersebut melebihi ekspektasi kami yang hanya berharap akan diisi kira-kira 10 band.di tahun kedua jumlah band terus bertambah bahkan ada yang dari luar daerah komplek kami sehingga kami harus membatasi jumlah peserta menjadi 30 band.
Saya menyadari bahwa begitu banyak sekali antusaias para remaja di daerah komplek ini dan sekitarnya yang sangat suka bermusik, tetapi ada satu hal yang kurang di sini yaitu studio musik, di komplek saya dulu pernah ada 1 studio musik tetapi kemudian studio tersebut di tutup tanpa alasan yang belum saya ketahui.
Saya mencoba untuk berfikir realistis, dengan adanya pasar yang cukup bagus dan terdapat peluang pasar dimana terdapat kecenderungan permintaan yang menguntungkan dimana saya percaya banyak kebutuhan konsumen belum terpuaskan, dengan mengidentifikasi peluang pasar ini yaitu dengan banyaknya minat para remaja dalam hal bermusik namum belum ada studio musik yang bisa menjadi tempat mereka berlatih saya rasa hal ini akan berhasil.
Analisa kompetitif
Di wilayah tempat saya tinggal memang belum ada satu studio musik, tetapi di sekitarnya kira-kira dalam 1 kecamatan diperkirakan ada 10 studio musik dan menurut analisa saya ada 3 studio yang patut diperkirakan untuk menjadi studio pesaing berdasarkan survey ketika saya bertanat kepada teman-teman saya yang suka bermain musik diantaranya adalah :
1. AIR STUDIO
Studio ini merupakan studio yang paling bagus dan popular walaupun letaknya cukup jauh dan harga sewanya yang mahal yaitu rp 50.000/jam tetapi banyak orang yang rela bermain disana dikarenakan kepuasan mereka terhadap kualitas alat yang bagus dan nyaman.serta kualitas suara yang jernih,selain sebagai studio musik studio ni juga bisa menjadi studio rekaman .hal ini dapat terlihat di jadwal pemakaian studio mereka yang selalu penuh di setiap akhir pekan .
2. SAMBI STUDIO MUSIK
Sambi mempunyai dua studio musik studio 1 dan studio 2, dengan harga dan tarif yang berbeda pula untuk studio satu tarifnya sekitar Rp 30.000/jam dan studio 2 dengan tarif Rp 25.000/ jam.kelebihan dari studio ini adalah harganya yang cukup terjangkau dan ada 2 macam plihan studio.selain itu studio ini juga memiliki toko musik sendiri yang menyediakan keperluan alat-alat musik dan tempatnya yang sangat nyaman sebagai tempat bersantai setelah latihan.kekurangan studio ini adalah kualitas suara yang dihasilkan tidak begitu jernih dan terdapat banyak noise.
3.STUDIO MATOA
Studio ini merupakan studio yang paling lama berdiri, tetapi dikarenakan banyak studio baru yang bermunculan studio ini tidak begitu popular lagi. Matoa memiliki 2 studi yaitu matoa 1(Rp 30.000/jam) dan matoa 2 (Rp 25.000/jam).kekurangan studio ini adalah kualitas alat yang sudah terlalu tua dan kualitas suara yang biasa-biasa saja karena sudah memiliki seeting suara tersendiri sehingga para pemain tidak boleh mengubah settingan suar sendiri.
KEUNTUNGAN KOMPETITIF
Dalam mempersiapkan strategi sehingga studio yang akan saya buat nanti bisa bersaing studio saya harus memiliki keuntungan kompetitif tersendiri yaitu :
1.studio saya terdiri dari 1 studio yang pertama studio latihan musik biasa mencakup studio rekaman.dengan spesifikasi alat yang lengkap dan terbaru dan design yang interaktif.
2. studio saya akan menerapkan sistem hemat yaitu perbedaan harga tariff di hari-hari tertentu.sebagai conoh hari senin tariff studio hanya Rp 25.000/jam dan dihari selasa-jumat Rp 30.000/jam dan sabtu-minggu Rp 35.000.dan untuk biaya rekaman dikenakan biaya Rp 400.000/SHIFT (1 shift= 6 jam)
3 Akan dibuat kartu member secara gratis, dengan keuntungan member bisa melakukan tahap pembukuuan (BOOKING) melalui telepon, sehingga bisa lebih memudahkan.
4. saya akan menyediakan sebuah café kecil yang menyediakan makanan dan minuman ringan sehingga customer bisa bersantai ketika sedang menunggu sebelum latihan atau sesudah latihan.di kafe tersebut juga menyediakan alat-alat musik sederhana yaitu stick drum dan senar gitar.
5.dalam hal promosi saya akan mengadakan acara konser musik dalam jangka waktu 3 bulan sekali dan acara puncak 1 tahun sekali yaitu dengan menggunakan alat-alat serta kru-kru studio kami,dan para member studio kami serta beberapa guest star.dan juga menyebarkan profil stuio melalui internet seperti blog,facebook dll,serta iklan-iklan dalam majalah musik seperti audiopro dan koran-koran local seperti radar banten, warta kota dll.
TARGET PEMASARAN
Target pemaasaran studio saya adalah semua orang yang ingin bermain musik dan merekam musiknya dengan kualitas studio yang maksimal khususnya di wilayah tangerang, semua jenis aliran musik akan kami terima di studio ini karena kami juga menyediakan spesifikasi yang berbeda pula.tapi target utama kami adalah para remaja khusunya di wilayang tangerang.sehingga mereka bisa menyalurkan bakat musiknya yang menurut saya adalah suatu hal yang positif.
PROSES PEMASARAN
Identifikasi pasar
Identifikasi pasar mencakup kegiatan untuk mengkelompokan konsumen yang memeiliki gaya hidup, kebutuhan dan dan kesukaan yang sama. Dalam hal pembentkan studio ini, saya mengidentifikasi bahwa saya berusa mengidentifikasi pasar yang akan saya cakup adalah mereka yang mempunyai hobi bermusik walaupun ada banyak aliran musik yang berkembang studio ini memfokuskan kepada mereka yang menyukai aliran pop-rock.
Segmentasi pasar
Setelah melakukan identifikasi pasar, proses segmentasi pasar harus segera dilakukan yaitu membagi suatu pasar kedalam kelompok-kelompok yang jelas. Studio musik yang akan saya buat mencakup banyak sekali jenis-jenis musik, dan saya akan membuat segmentasi khusus, yaitu musik terdiri dari berbagai macam jenis saya akan memposisikan studio saya untuk jenis-jenis musik pop-rock, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk jenis-jenis musik lain seperti jazz, metal, dll.
Positioning
Merupakan strategi komunikasi yang berhubungan dengan bagaimana khalayak menempatka suatu produk, merek atau perusahan di dalam otaknya. Studio saya akan menempatkan posiioning sebagai studio yang sangat nyaman lengkap dengan kualitas alat-alat yag maksimal dan tempat bersantai serta acara konser musik yang berkesinambungan. Sehingga diharapkan studio ini menjadi sarana bagi masyaraat khususnya yang menyukai musik sebagai tempat mengembangkan potensinya dan sarana berdiskusi dengan motto “musik tidak hanya sekedar brisik”
contoh format berita package
FAROBI BILHAQ = 44108010061
Lead in
Warga etnis Madura yang tinggal di Jalan Pondok Randu, Duri Kosambi, Jakarta Barat, sudah berani melihat rumah dan tempat usaha mereka yang hancur terbakar dalam kerusuhan pada Minggu malam lalu.
Role gambar// gambar rumah (Anas) setelah kerusuhan dan gambar waktu berlangsungnya kerusuhan
VO SOT
Anas (30), pengusaha jual-beli tripleks baru dan kayu bekas, mengatakan kerugian yang dideritanya sebesar Rp500 juta. Perinciannya sebuah mobil Espass dan rumah yang baru dia bangun senilai Rp250 juta serta usaha-usaha seperti triplek, kayu, dan lainnya yang terbakar. Dia mengaku rumah yang dibangun murni milik dia dengan surat-surat lengkap. Namun Anas tidak menampik bahwa sebagian rumah warga Madura yang ada di situ dibangun di atas lahan milik Bina Marga
Warga Desa Rabesan, Sampang, Madura ini mengatakan saat bentrokan dirinya hanya bertahan agar tidak terjadi bentrok fisik lebih luas dengan massa yang diakuinya sebagian besar merupakan anak-anak beratribut Jakmania.
“Kami mempertahankan dengan apa adanya. Tapi ada juga yang mempersiapkan diri dengan celurit,” tutur Anas saat ditemui di lokasi, Selasa (1/6/2010).
STAND UP
Pemirsa saat ini saya sedang berada di lokasi bekas terjadinya kerusuhan yang terjadi minggu malam kemarin, seperti yag terlihat di belakang saya kerusuhan tersebut hanya meninggalkan kerugian yang sangat besar, banyak korban kerusuhan yang kehilangan mata pencahariannya dikarenakan kerusuhan ini. Saya farobi melaporkan dari Duri Kosambi Jakarta
Lead in
Warga etnis Madura yang tinggal di Jalan Pondok Randu, Duri Kosambi, Jakarta Barat, sudah berani melihat rumah dan tempat usaha mereka yang hancur terbakar dalam kerusuhan pada Minggu malam lalu.
Role gambar// gambar rumah (Anas) setelah kerusuhan dan gambar waktu berlangsungnya kerusuhan
VO SOT
Anas (30), pengusaha jual-beli tripleks baru dan kayu bekas, mengatakan kerugian yang dideritanya sebesar Rp500 juta. Perinciannya sebuah mobil Espass dan rumah yang baru dia bangun senilai Rp250 juta serta usaha-usaha seperti triplek, kayu, dan lainnya yang terbakar. Dia mengaku rumah yang dibangun murni milik dia dengan surat-surat lengkap. Namun Anas tidak menampik bahwa sebagian rumah warga Madura yang ada di situ dibangun di atas lahan milik Bina Marga
Warga Desa Rabesan, Sampang, Madura ini mengatakan saat bentrokan dirinya hanya bertahan agar tidak terjadi bentrok fisik lebih luas dengan massa yang diakuinya sebagian besar merupakan anak-anak beratribut Jakmania.
“Kami mempertahankan dengan apa adanya. Tapi ada juga yang mempersiapkan diri dengan celurit,” tutur Anas saat ditemui di lokasi, Selasa (1/6/2010).
STAND UP
Pemirsa saat ini saya sedang berada di lokasi bekas terjadinya kerusuhan yang terjadi minggu malam kemarin, seperti yag terlihat di belakang saya kerusuhan tersebut hanya meninggalkan kerugian yang sangat besar, banyak korban kerusuhan yang kehilangan mata pencahariannya dikarenakan kerusuhan ini. Saya farobi melaporkan dari Duri Kosambi Jakarta
Jumat, 04 Juni 2010
Kebenaran Di Balik Fantasi Pornografi
sumber majalah SABILI
Ditulis Shelley Lubben (Mantan Artis Porno)
Dipersembahkan kepada semua artis porno yang terkena HIV, meninggal karena overdosis obat terlarang, dan meninggal bunuh diri.
Film-film porno penuh adegan seks, yang menampilkan seorang gadis pirang dengan tatapan merangsang mengatakan, “aku menginginkanmu”, adalah sebuah penipuan terbesar sepanjang masa.
Percaya saya, saya tahu persis.
Saya melakukannya sepanjang hidup saya dan saya melakukannya karena gila kuasa dan keserakahan. Saya tidak pernah menyukai seks. Saya tidak menginginkan seks, dan sebenarnya saya lebih ingin menghabiskan waktu dengan Jack Daniels (merk minuman keras red) dibandingkan dengan lawan main saya di film itu.
Benar, tidak ada seorangpun dari kami, gadisgadis pirang ini, yang menyukai pornografi. Kami membencinya. Kami benci tubuh kami dijamah oleh orang tidak dikenal yang sama sekali tidak peduli tentang kami. Kami benci harga diri kami dilindas oleh tubuh mereka yang bau dan berkeringat.
Banyak yang begitu jijik sehingga kami bisa mendengar mereka muntah di kamar mandi di sela-sela adegan. Yang lainnya bisa ditemukan di luar, merokok Marlboro lights tanpa henti…
Tapi industri pornografi mau ANDA berpikir bahwa kami, artis-artisnya, menyukai seks. Mereka mau anda berpikir kami senang direndahkan oleh tindakan tindakan brutal dan menjijikkan.
Kebenarannya, semua bintang film porno memulai karirnya tanpa kontrak kerja yang jelas, dan dipaksa oleh para produser film untuk melakukan adegan, atau pergi tanpa dibayar.
Bekerja atau tidak usah sama sekali.
Ya, kamilah yang membuat keputusan itu. Beberapa dari kami membutuhkan uang. Tapi kami telah dimanipulasi, dipaksa, dan bahkan diancam. Beberapa harus tertular HIV sebagai akibat dari paksaan itu.
Saya sendiri tertular Herpes, penyakit menular seksual yang tidak bisa disembuhkan.
Bintang porno lainnya pulang ke rumah setelah semalaman menahan sakit dan menodongkan pistol ke kepalanya dan menarik picunya.
Mati.
Memang bisa dikatakan bahwa kebanyakan wanita yang beralih ke industri pornografi, kemungkinan tidak tumbuh di masa kecil yang sehat. Memang, banyak bintang porno yang mengakui mereka mengalami perlakuan kejam secara seksual, fisikal, verbal, dan ditelantarkan oleh orang tua.
Beberapa diperkosa oleh orangorang dekatnya sendiri, dan dianiaya oleh tetangganya.
Ketika kami masih gadis gadis kecil, keinginan kami hanyalah bermain boneka dan bercanda ria, bukan seorang pria besar menyeramkan meniduri kami. Yang terjadi akhirnya, kami belajar pada masa muda kami bahwa seks membuat kami berharga.
Perkosaan mengerikan yang sama yang kami alami, kemudian, kami alami lagi ketika kami berakting di depan kamera.
Kami adalah gadis gadis kecil dipenuhi trauma, yang hidup dengan obat penenang, narkotika dan alkohol mengulang kembali kesakitan kami di hadapan Anda yang terus memperlakukan kami dengan kejam dan sewenangwenang.
Ketika kami terus menambah trauma dan luka hati kami dengan membuat lebih banyak film film porno, kami menggunakan lebih banyak lagi narkotika dan alkohol. Kami hidup dalam ketakutan setiap hari akan AIDS dan penyakit menular seksual.
Setiap kali ada kasus HIV di antara kami, segera kami berlomba lomba ke klinik terdekat untuk pemeriksaan darurat. Pembuat film porno memaksa memberikan konsumennya fantasi seksual apapun yang mereka inginkan dan mengorbankan begitu saja para pemain filmnya.
Dengan kata lain, tidak ada alat kontrasepsi yang boleh digunakan. Herpes, gonorrhea, syphilis, chlamydia, dan penyakit lainnya sudah menjadi seperti kegelisahan normal yang kami hadapi sehari hari.
Kami diperiksa setiap bulan, tapi kami tahu pemeriksan itu bukan pencegahan.
Di samping mengkhawatirkan penyakit menular seksual, banyak aktivitas seksual yang kami lakukan yang sangat berbahaya. Beberapa dari kami harus terluka secara fisik dan mengalami kerusakan organ tubuh bagian dalam.
Ketika bintang porno keluar dari tempat kerjanya, beristirahat, kami berusaha mencari hubungan lawan jenis yang normal dan sehat, tapi pacar pacar kami menjadi cemburu dan melukai kami secara fisik.
Akibatnya kami menikahi sutradara film porno kami, dan lainnya memilih hubungan dengan sesama jenisnya. Benar benar suatu momen yang tak dapat terlupakan ketika putri kami secara kebetulan berjalan keluar dan melihat ibunya mencium seorang wanita. Putri saya bisa bersaksi tentang itu.
Di siang hari kami berjalan berkeliling seperti mayat hidup dengan bir di tangan yang satu dan segelas whisky di tangan yang lain. Kami tidak peduli dengan kebersihan, jadi kami biarkan rumah kami jorok, atau kami menyewa pembantu untuk datang dan membersihkannya.
Artis porno juga bukan tukang masak yang baik. Memesan makanan sangat normal bagi kami, yang setelah kami makan akan kami muntahkan lagi, karena bulimia yang kami idap.
Untuk bintang porno yang punya anak, kami adalah ibu terburuk di dunia. Kami berteriak histeris dan memukuli anak kami tanpa alasan. Seringkali ketika kami sedang mabuk dan tidak sadarkan diri, anak-anak kami yang berumur 4 tahunlah yang mengangkat kami dari lantai.
Ketika pelanggan kami datang untuk seks, kami mengunci mereka di kamar dan menyuruh mereka diam. Saya biasanya memberi putri saya sebuah pager dan menyuruhnya menunggu di taman sampai saya selesai.
Kebenarannya, tidak ada fantasi apapun dalam pornografi. Semuanya adalah sebuah kebohongan besar. Jika Anda melihat lebih dekat adegan-adegan dalam kehidupan seorang bintang porno, Anda akan melihat sebuah film yang industri pornografi tidak mau Anda lihat.
Kebenarannya adalah artis-artis porno mau mengakhiri rasa malu dan trauma dari hidup kami, tapi kami tidak bisa melakukannya sendiri.
Kami butuh kalian, para pria, untuk bertarung bagi kebebasan kami dan memberi kami kembali harga diri kami. Kami butuh kalian untuk melindungi kami dengan lengan-lengan yang kuat sementara kami menangisi luka-luka kami dan perlahan-lahan dipulihkan. Kami butuh kalian untuk berdoa bagi kami, agar Tuhan mendengar dan membentuk kembali hidup kami yang hancur.
Jadi, jangan percayai lagi kebohongan itu. Pornografi tidak lebih dari seks palsu dan kebohongan yang difilmkan. Percaya saya, saya tahu persis.
Sumber: Sabili
terorisme dan ham 2
TERORISME DAN HAK ASASI MANUSIA
PENDAHULUAN
Tindakan terorisme bukanlah suatu tindakan kepahlawanan yang dilakukan untuk memberantas suatu ketidakadilan di dunia ini, terorisme bukanlah suatu jalan untuk memusnahkan suatu kelompok manusia lain demi tercapainya suatu keadilan yang absolut, aksi terorisme hanya menciptakan suatu ketakutan di dalam masyarakat dunia. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) tindakan terorisme selalu berkaitan dengan masalah hak asasi, misalnya tindakan terorisme sudah jelas-jelas melanggar hak asasi manusia, tetapi dalam mengadili para teroris itu tersendiri, kita juga tidak boleh melanggar hak asasi para teroris itu tersendiri, tentu saja ini menjadi suatu pilihan yang sangat sulit, hukum harus benar-benar ditegakan sehingga masalah terorisme bisa benar-benar diselesaikan. Seperti yang dikutip dari harian Media Indonesia “Kepolisian sama sekali tidak melakukan pelanggaran HAM saat penggerebekan anggota teroris di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Hal ini ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden juga menyatakan kepolisian telah memenuhi kaidah hukum dan HAM dan tidak seperti yang ditudingkan beberapa pihak belakangan."Hati-hati untuk mengatakan negara melanggar HAM, kepolisian melanggar HAM. Kapolri ada disini dan saya minta kepolisian, semua penegak hukum bekerja sesuai dengan UU, aturan" ujar Presiden di Markas Komando Pasukan Khusus (Makopasus), Cijantung, Jakarta, Kamis (20/8). Penanggulangan dan penanganan teroris di hampir semua negara demokratis dinilai sama yakni pada penegakan fungsi hukum. Sehingga kepolisian harus berada di garis depan” (Media Indonesia edisi Kamis 20 Agustus 2009)
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama. Hal inilah yang menjadi suatu beban bagi saya, istilah terorisme selalu bersangkutan dengan agama islam yang menurut pendapat saya hal tersebut merupakan suatu paradigma yang salah.
LATAR BELAKANG
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia dan yang lebih parah lagi mereka menganggap bahwa aksi terorisme tersebut merupakan suatu aksi yang mereka tempuh untuk menciptakan suatu keadilan di dunia tanpa memikirkan hak asasi individu lain.
“terorisme terjadi di seluruh dunia. Namun sepanjang sejarah aksi terorisme yang ada, Indonesia justru dinilai paling menderita. Setelah diserang teroris, negara-negara lain cepat bangkit, kejadian tersebut juga jarang sekali terulang. Namun tidak begitu dengan Indonesia. Seakan tiada habisnya kasus terorisme terjadi berulang kali di Indonesia”(dikutip dari Koran kompas 4 september 2009).
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasiona. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Kaitan antara terorisme dan hak asasi manusi merupakan suatu keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan, inti dari permasalahan ini adalah bagaimana kita memberantas tidakan terorisme tanpa menodai nilai-nilai hak asasi manusia.
PEMBAHASAN
Inti dari masalahnya adalah sederhana saja: kekeliruan dalam menafsirkan doktrin agama, “the perversion of religious interpretation”. Teroris bukan pahlawan kaum miskin dan pejuang ketidakadilan. Dan sudah seharusnya kita tak usah menganggap mereka sebagai pahlawan, entah pahlawan dunia Islam apalagi kaum miskin yang menjadi korban ketidakadilan. Mereka adalah penjahat karena mereka telah menodai nilai nilai hak asasi manusia seutuhnya.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Walau mendapat banyak apresiasi dari dalam dan luar negeri, perang terhadap terorisme yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia dinilai Imparsial telah mengabaikan hak asasi manusia (HAM).
"Kami setuju terorisme sebagai musuh yang harus dilawan. Namun di sisi lain respon atas persoalan terorisme belum mampu menjaga keseimbangan keamanan dan kebebasan masyarakat," ujar Managing Director Imparsial, Rusdi Marpaung, dalam peluncuran 'Laporan Implikasi Perang Melawan Terorisme terhadap Penegakan HAM di Indonesia' di Jakarta, (Media Indonesia edisi Jumat (13/11/09).
Menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
KESIMPULAN
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam pemberantasannya saya hanya bisa memberikan saran agar negara-negara Islam di dunia termasuk Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar, bekerjasama untuk membersihkan pengaruh-pengaruh paham-paham terorisme yang bertuhjuan menciptakan ketakutan global dan tidak memperdulikan hak asasi manusia. Hal ini merupakan syarat pokok untuk menetralisir lingkungan, yang dapat dijadikan habitat bagi terorisme dalam melakukan regenerasi seperti yang dikutip dari harian kompas tanggal 13 oktober 2009 yang mengatakan “ teroris belum membangun jaringan di kalangan mahasiswa di Indonesia. Mahasiswa dinilai cukup siaga, waspada, dan lebih mengetahui terorisme sehingga lebih sadar dan tidak mudah terlibat dalam aksis terror” inti dari kutipan tersebut bahwa pendidikan mengenai terorisme dan agama sangatlah penting, semakin kita mempunyai pengetahuan yang tinggi semakin kecil kemungkinan kita untuk menjadi seoang teroris
Rabu, 02 Juni 2010
terorisme dan hak asasi manusia
TERORISME DAN HAK ASASI MANUSIA
PENDAHULUAN
Tindakan terorisme bukanlah suatu tindakan kepahlawanan yang dilakukan untuk memberantas suatu ketidakadilan di dunia ini, terorisme bukanlah suatu jalan untuk memusnahkan suatu kelompok manusia lain demi tercapainya suatu keadilan yang absolut, aksi terorisme hanya menciptakan suatu ketakutan di dalam masyarakat dunia. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama. Hal inilah yang menjadi suatu beban bagi saya, istilah terorisme selalu bersangkutan dengan agama islam yang menurut pendapat saya hal tersebut merupakan suatu paradigma yang salah.
LATAR BELAKANG
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia dan yang lebih parah lagi mereka menganggap bahwa aksi terorisme tersebut merupakan suatu aksi yang mereka tempuh untuk menciptakan suatu keadilan di dunia tanpa memikirkan hak asasi individu lain.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasiona. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Kaitan antara terorisme dan hak asasi manusi merupakan suatu keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan, inti dari permasalahan ini adalah bagaimana kita memberantas tidakan terorisme tanpa menodai nilai-nilai hak asasi manusia.
PEMBAHASAN
Inti dari masalahnya adalah sederhana saja: kekeliruan dalam menafsirkan doktrin agama, “the perversion of religious interpretation”. Teroris bukan pahlawan kaum miskin dan pejuang ketidakadilan. Dan sudah seharusnya kita tak usah menganggap mereka sebagai pahlawan, entah pahlawan dunia Islam apalagi kaum miskin yang menjadi korban ketidakadilan. Mereka adalah penjahat karena mereka telah menodai nilai nilai hak asasi manusia seutuhnya.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
KESIMPULAN
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam pemberantasannya saya hanya bisa memberikan saran agar negara-negara Islam di dunia termasuk Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar, bekerjasama untuk membersihkan pengaruh-pengaruh paham-paham terorisme yang bertuhjuan menciptakan ketakutan global dan tidak memperdulikan hak asasi manusia. Hal ini merupakan syarat pokok untuk menetralisir lingkungan, yang dapat dijadikan habitat bagi terorisme dalam melakukan regenerasi.
PENDAHULUAN
Tindakan terorisme bukanlah suatu tindakan kepahlawanan yang dilakukan untuk memberantas suatu ketidakadilan di dunia ini, terorisme bukanlah suatu jalan untuk memusnahkan suatu kelompok manusia lain demi tercapainya suatu keadilan yang absolut, aksi terorisme hanya menciptakan suatu ketakutan di dalam masyarakat dunia. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama. Hal inilah yang menjadi suatu beban bagi saya, istilah terorisme selalu bersangkutan dengan agama islam yang menurut pendapat saya hal tersebut merupakan suatu paradigma yang salah.
LATAR BELAKANG
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia dan yang lebih parah lagi mereka menganggap bahwa aksi terorisme tersebut merupakan suatu aksi yang mereka tempuh untuk menciptakan suatu keadilan di dunia tanpa memikirkan hak asasi individu lain.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasiona. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Kaitan antara terorisme dan hak asasi manusi merupakan suatu keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan, inti dari permasalahan ini adalah bagaimana kita memberantas tidakan terorisme tanpa menodai nilai-nilai hak asasi manusia.
PEMBAHASAN
Inti dari masalahnya adalah sederhana saja: kekeliruan dalam menafsirkan doktrin agama, “the perversion of religious interpretation”. Teroris bukan pahlawan kaum miskin dan pejuang ketidakadilan. Dan sudah seharusnya kita tak usah menganggap mereka sebagai pahlawan, entah pahlawan dunia Islam apalagi kaum miskin yang menjadi korban ketidakadilan. Mereka adalah penjahat karena mereka telah menodai nilai nilai hak asasi manusia seutuhnya.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
KESIMPULAN
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam pemberantasannya saya hanya bisa memberikan saran agar negara-negara Islam di dunia termasuk Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar, bekerjasama untuk membersihkan pengaruh-pengaruh paham-paham terorisme yang bertuhjuan menciptakan ketakutan global dan tidak memperdulikan hak asasi manusia. Hal ini merupakan syarat pokok untuk menetralisir lingkungan, yang dapat dijadikan habitat bagi terorisme dalam melakukan regenerasi.
Langganan:
Postingan (Atom)