Rabu, 30 Desember 2009
......
"CUP..CUP...CUP,Jangan nangis , masa nangis sih kan udah gede","hap tangkap kodoknya","sini-sini katanya baja hitam, kok nangis sih?",itulah kata-kata yang selalu diucapkan oleh kedua orangtuaku ketika aku terjatuh dan menangis.masih terbayang jelas wajah mereka yang selalu mendukung setiap tindakan yang aku lakukan.aku tidak tahu mana yang baik dan buruk,semua yang ingin aku lakukan akan aku paksakan,aku egois.kira-kira itu sekitar 16 tahun yang lalu.iya aku masih berumur 3 tahun saat itu, masih meniti langkah-langkah konyol, tetapi walaupun terjatuh aku masih mencoba karena aku tidak takut, kadang lebih enak menjadi anak kecil hidup tanpa sesuatu paradoks benar dan salah, tidak terjebak dalam labirin.sekarang umurku 19.aku sudah besar, aku tidak perlu memnita pertolongan ayah dan ibuku untuk melangkah maju,aku sudah punya empat adik,yang harus aku bantu melangkah berjalan,karena ayah dan ibuku sudah tidak begitu kuat lagi untuk melakukannya semaksimal seperti yang mereka lakukan ketika mengurus tingkahku dulu.aku bertekad untuk membahagiakan mereka dengan segala sesuatu yang bisa aku lakukan seperti tidak merokok,tidak minum-minuman keras,tidak bolos sekolah,intinya melakukan hal-hal yang baik,dan tidak berkata iya kepada "pacaran".karena waktu aku masih berada pada masa-masa ambiguitas mengenai benar dan salah aku berjanji untuk tidak melakukan hal "itu" sebelum aku memiliki uang sendiri dan bisa bertanggung jawab kepada calon isteriku.tetapi aku melanggarnya.
ketika SMA,seorang kakak kelas mengatakan bahwa ia menyukaiku dengan segala keluguan seorang anak adam yang tersesat di wilayah cengkareng.aku menerimanya tetapi hubungan tersebut hanya bertahan selama 3 bulan,dan aku mendapatkan pelajaran yang cukup berarti.setelah kejadian saat itu aku mencoba untuk tidak mudah menyukai lawan jenis,biarpun diannggap sebagai seorang homoseks aku tidak peduli "whatever poeple say i'm not" karena aku tahu apabila aku mempunyai seorang kekasih(aku lebih suka menyebutnya seperti itu daripada sebutan pacar atau cewe)maka aku harus bertanggung jawab penuh atas dirinya,menurutku hal itu merupakan hal yang berat dibandingkan dengan mempertahankan nilai IP dan menciptakan lagu metal.tetapi...dia membuatku meleleh...
seorang gadis yang selalu berdiri di depan pintu kelasnya, memperhatikan dan menatap segala tingkah-lakuku ,sampai saat menulis tulisan inipun aku masih bisa mengingat tatapannya.awalnya ku kira ia dendam,atau secara tak sengaja aku pernah menyakitinya karena kecerobohanku,karena setiap aku berjalan ke dua mata itu hampir selalu mengikuti dan baru berhenti ketika aku memasuki toilet dan meninggalkan pintu gerbang sekolah.sudah cukup lama ke dua bola mata coklat itu mengikuti gerak-geriku hingga pada suatu hari aku menyadari sesuatu yang aneh ketika kedua bola mata itu tidak mengikuti,dan akhirnya aku mengetahui bahwa ketika itu ia sedang sakit.ada sesuatu hal yang kurang tanpa tatapannya itu.beberapa bulan kemudian Ia memberitahukan identitasnya dan aku langsung terhentak karena ke dua mata coklat yang selalu mengiringi gerak-geriku (dianalogikan seperti mata sauron dalam film lord of the ring yang selalu mengawasi frodo dari kejauhan. aku memang bukan frodo, aku farobi)selama ini adalah dia.aku memang sempat suka kepadanya tetapi pada perjumpaan kita yang pertama ia sedang bersama kekasihnya dan kita berkenalan(tragis),insting penguburan perasaan suka inipun langsung berjalan,entah kenapa di dalam tubuhku ini ada semacam software pembunuh perasaan suka terhadap lawan jenis,ia bekerja ketika aku mulai menyukai sang Hawa yang aku idam-idamkan.ia bekerja sangat cepat dan sejauh ini berhasil tetapi software ini rusak ketika dia menatapku dan kita mulai menjalin komunikasi interpersonal dua arah yang sangat mengasyikan dan menyenagkan.
aku memang tidak pandai menulis,membaca tulisanku anda harus bisa menahan goncangan batin dan psikis atau dianalogikan seperti menerka-nerka siapakah oknum yang ada di balik kasus bank century.intinya sangat "sulit" membaca tulisan ciptaan keduatanganku ini.bukanya jelek tulisanku hanya sedikit sulit dibaca karena ada unsur seni didalamnya(sedikit membela).berbeda dengan dia ,tulisannya sangat bagus,wajahnya ayu, bagiku ia diibaratkan dengan gitar gibson asli punya jimmy page(perfect) dan ia pandai menulis,entah itu puisi ,cerita, atau tulisan dalam sms.padahal masih banyak cerita yang ingin aku tuliskan dalam cerita ini,semakin aku menulis semakin aku tidak mau kehilanggan dirinya,intinya kita berhasil untuk berjalan dijalur yang sama selama hampir 2 tahun.banyak masalah yang kita hadapi.banyak sekali...seperti perkiraan awalku dulu,ini merupakan tanggung jawab yang berat.
huuff...sedikit menghela nafas..hari ini hari rabu tanggal 30 des 09 pukul 23.39.sebenarnya aku ingin sekali tidur,tetapi tidak bisa,dan dia sudah tertidur dengan smsnya yang terakhir"gua benci sm lo".seingatku sudah puluhan kali ia menngatakan kata-kata itu.
huuff.... menghela nafas lagi...aku terjatuh,tapi kali ini beda tidak ada kata-kata dukungan dari ayah dan ibu lagi.karena aku maenganggap ini bukan tanggung jawab mereka,sudah banyak beban yang mereka pikul dan aku tidak mau menambahkannya lagi.permasalahan dengan gadis bermata coklat itu sebenarnya mengenai frekuensi bertemu ,iya saat ini aku terlalu sibuk kuliah dan bekerja.tapi aku juga ingin dia tahu bahwa aku melakukan ini juga untuk dirinya.bagiku tidak bertemu juga tidak masalah.aku bisa menjaga diriku ini dengan "softwarwe pembenci lawan jenis" dalam diriku juga sudah di aktifkan lagi dan bahkan sudah di up-grade , yaitu hanya bisa mengenali dirinya dan tidak akan bekerja dengan dirinya.hanya dia yang ada dalam tubuh kurusku ini.tetapi aku kira ada sedikit kesalahpahaman dalam kasus ini.
mengenai harga diri.pada dasarnya kita semua hidup tidak berdasarkan harga tetapi dengan rasa,perasaan lebih tepatnya , tetapi kita hidup di jaman kapitalisme(anak tiri modernitas)yang melabelkan segala sesuatunya dengan label harga.paradigma seperti itu mau tidak mau kita terima,kita sudah hidup di dalam suatu labirin yang sangat berkelit sehingga segala sesuatu yang benar dan salah menjadi hal yang normatif.aku hanya bisa mengajakmu keluar sebentar dari labirin ini tetapi kita pasti akan masuk kedalamnya lagi.aku sangat mengahargai Dia ,dia itu oase...tetapi mungkin kekurangan kemampuanku dalam hal menjelaskan itu sehingga kesalahpahaman ini terjadi.berikutnya matrealisme....
ini berhubungan dengan matrealisme,materi lebih tepatnya aku tidak pernah menganggap dirinya seperti itu.tidak pernah!!,,,dia sederhana, walaupun kadang-kadang rewel minta dibelikan sesuatu,tetapi itu wajar dan mungkin ketololanku yang menyebabkan dia mengakhiri hari ini dengan kata benci itu.haduuu.....harusnya aku lebih memahami,oleh karena itu aku memutuskan untuk menulis ini dibandingkan dengan membaca buku pelajaran kewirausahhan (padahal esok harinya ada kuis).tapi percuma saja,aku tidak tenang,ketika ia marah, sedih , kacau, aku tidak tenang,dia mungkin selalu mengangap bahwa aku tidak pernah memikirkan dirinya .hanya kuliah, kerja ,band metalku,dll di dalam otaku, tetapi ketika dirinya sedang kacau.semua sel-sel di otaku memikirkan dia...
sekali lagi dia.
kisah kita memang sederhana.tidak terlalu melebih-lebihkan,apa adanya saja,mungkin kita harus lebih bersabar..tetapi aku tetap saja cemas karena esok(hari terakhir di tahun 2009),bisa menjadi hari terakhir kita (karena dia mengatakan hal tersebut), dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi , cita-cita kita berdua masih panjang sekitar 6 tahun lagi.kita harus kompak.
huff..
aku hanya ingin tenang,
tenang,seperti saat rasa pegal yang terjadi dipinggang dan pundaku ketika dia bersandar sambil bernyanyi, bercerita dan kadang tertidur diatas kendaraan sederhanaku ini,aku hanya ingin menciptakan rasa aman seperti itu,aku tahu dia lelah.aku tahu karena aku juga merasakannya ketika selesai bekerja dan kuliah serta rutinitas keseharian lain,di saat itulah aku tidak merasakan lelah,apalagi ketika ia menutup pintu dengan tersenyum sebagai tanda berakhirnya pertemuan di hari itu.
kita terangkai.
Senin, 14 Desember 2009
SENIN
HARI SENIN TANGGAL 14 DES
HARI INI SAYA MENYAKSIKAN FILM BALIBO
WOOWWW
JADI BENCI DENGAN INDONESIA KETIKA MENYAKSIKAN FILM TERSEBUT.........
tapi harus diingat di balik suatu fil pasti adamaksud-maksud tertentu...
mungkin saja ada tingkatan kepentingan di dalam film tersebut.......
australia ingin menjadi pahlawan di asia...???
mereka ingin memainkan opini pulik kita
tetapi biarkanlah publik menilai,toh walauun timor sudah merdeka sekarang perubahan besar belum terlihat di sana...
tetepi film tersebut memang sangat bagus,perasaan takut ketika ingin mati benar-benar terasa........sedih melihat wartawan yang terbunuhhh
setelah itu ketemu is
biasa agak cemburu sedikit,taoi wajarlahhhhh...just let it floww
malemnya sialll
tugas kelompok belom selesaiiiiiiiiiiiiiiiii
Sabtu, 28 November 2009
Perbandingan Antara Dua Buku Mata Kuliah Wajib Linguistik yaitu “The Linguistics Wars” dengan “Chomsky: Ideas and Ideals”.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sebuah buku pasti memiliki suatu kelebihan dan kekurangannya,di dalam tugas kali ini akan dibahas mengenai perbandingan dua buah buku mata kuliah wajib linguistic yaitu Chomsky: Ideas and Ideals karya Neil Smith yang diterbitkan pada tahun 1999 .dan The Linguistics Wars karya Randy Allen Harris yang diterbitkan pada tahun 1995.Kita bisa melihat secara langsung bahwa kedua buku tersebut diterbitkan pada tahun yang berbeda ,ada jarak sekitar 5 tahun diantara keduanya,apakah dengan perbedaan tahun terbitnya tersebut dapat menjadi suatu pengaruh perbandingan yang signifikan dalm kualitas penulisannya dalam bidang linguistic
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah manyimak ,perbandingan kedua buku ini dapat menginformasikan kepada kita semua mengenai keunggulannya dan kelemahannya masing-masing.Hal yang dosoroti dalam sebuah penulisanperbandingan ini tidak sebatas pada isi buku, tetapi sistematika, penyajian, gaya bahasa, kecermatan ejaan, diksi,yang tidak berhubungan langsung dengan aspek isi.Bahkan, ilustrasi, tata letak atau hal- hal yang berkenaan dengan teknik percetakan pun bisa dikomentari dan dinilai Selain menilik kelebihan dan kekuranganya,
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penlisan ini adalah untuk megetahui seberapa besar ketelitian kita dalam bidang menyimak buku,sehingga kita bisa membuat suatu perbandingan mengenai kualitas kedua buku tersebut.
1.3 Rumusan Masalah
1.3.1 Apa yang menjadi kelemahan dan keunggulan dari kedua buku tersebut yaitu Chomsky: Ideas and Ideals karya Neil Smith yang diterbitkan pada tahun 1999 .dan The Linguistics Wars karya Randy Allen Harris?
1.3.2 Bagaimana proses ketelitian menyimak kita sehingga bisa membandingkan kedua buku tersebut?
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Buku “Chomsky: Ideas and Ideals”
Buku yang memiliki Judul : Chomsky: Ideas and Ideals.adalah suatu buku yang ditulis oleh Neil Smith yang diterbitkan pada tahun 1999 oleh penerbit Cambridge University Press dan memiliki 356 halaman
Sejak kemenangan revolusi Chomsky , yang dikukuhkan dengan tegaknya aliran Linguistik Generatif pada pertengahan dasawarsa 1960-an (Newmeyer 1986), kepeloporan Chomsky di bidang linguistik maupun di bidang filsafat ilmu telah banyak dibicarakan oleh kaum akademisi. Untuk menyebut beberapa contoh, gagasan pembaharuan di bidang linguistik oleh Chomsky dibicarakan ole Lyons dalam Chomsky (1970); tinjauan kritis terhadap pemikiran linguistik Chomsky dihimpun oleh Harman dalam On Noam Chomsky: Critical Essays (1982); dan pengaruh Chomsky di bidang filsafat dikemukakan oleh George dalam Reflections on Chomsky (1989). Mengikuti alur kepustakaan tentang Chomsky, buku Chomsky: Ideas and Ideals yang diresensi ini, sebagaimana disarankan oleh judulnya, mencoba menyarikan dan menjelaskan gagasan-gagasan pokok Chomsky secara kronologis dan analitis, terutama di bidang linguistik dan juga, selayang pandang,di bidang politik.
2.2 Isi Buku
Buku ini terdiri dari 5 bab berikut ini meripakan detail atau kesimpulan dari tiap-tiap bab yaitu:.
2.2.1 Bab I, The Mirror of the Mind
Mengingatkan kita pada ungkapan yang digunakan oleh Chomsky dalam Language and Mind (1968: x):language should be a direct mirror of the mind . Bab ini menegaskan ulang sejumlah tesis utama yang dikemukakan oleh Chomsky dalam periode generatif klasik, atau periode Aspects (1965). Beberapa tesis utama tersebut antara lain competence vs. peformance; innate hypothesis yang dikaitkan dengan esensi dan proses pemerolehan bahasa; dan linguistics as a science, yang pada satu sisi merupakan bagian dari psikologi kognitif dan pada sisi lainnya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam. Hal-hal baru yang dikemukakan dalam bab ini disarikan dari pemikiran Chomsky yang muncul pada periode generatif mutakhir, atau periode Government and Binding (GB, 1981) dan Minimalism (1995). Dalam periode mutakhir ini dinyatakan bahwa gramatika bersifat moduler. Artinya, kompetensi bahasa yang ada dalam pikiran manusia terdiri dari sejumlah modul, yang masing-masing memiliki prinsip sendiri-sendiri; namun semua modul itu bekerja secara serentak, yang memungkinkan penutur bahasa dapat menghasilkan atau memahami untaian kalimat-kalimat gramatikal. Pembahasan tentang competence vs. performance dikaitkan dengan I-language vs. E-language, atau internal language vs. external language. Kependekan I dalam I-language bukan hanya berarti internal melainkan juga individual dan intensional (bukan intentional). Dalam Linguistik Generatif, diyakini bahwa Ilanguage inilah yang selayaknya merupakan obyek kajian kebahasaan, karena sifatnya yang explicitly psychological dan coherently definable (hlm. 31). Gagasan terpenting dalam periode mutakhir adalah: tujuan utama linguistik ialah menjelaskan hakekat dan prinsip-prinsip Universal Grammar (UG). Dalam buku ini UG didefinisikan secara ringkas dan jelas sebagai the set of linguistic principles we are endowed with at birth in virtue of being human (hlm. 42). Dengan menjelaskan prinsip-prinsip UG inilah Linguistik Generatif berusaha memenuhi persyaratan teoritik utama, yaitu explanatory edequacy atau ketuntasan penjelasan.
2.2.2 .Bab 2, The Linguistic Foundation
Membicarakan landasan pemikiran kebahasaan, terutama yang muncul pada periode mutakhir. Berkaitan dengan knowledge of language, leksikon, yang pada periode klasik menempati posisi marginal, kini mendapatkan posisi sentral. Dalam hubungannya dengan X-bar Theory, konstruksi frasa pada hakekatnya merupakan proyeksi maksimal dari kata isi (content words), terutama verba, nomina, dan adjektiva, berdasarkan fitur sintaktis dan semantis yang terkandung dalam kata isi tersebut. Sedangkan setiap konstruksi klausal merupakan proyeksi maksimal dari kategori I atau Inflection, yang terutama direpresentasikan dalam kalimat oleh verba bantu (Aux) dan kala (tense). Teori GB, yang kini disebut sebagai the Principles and Parameters Approach (Chomsky 1995: 29-30), diulas secara singkat dengan memberikan penjelasan pada komponen-komponen berikut: Binding Theory, Thetha Theory, Case Theory, dan Empty Categories. Sementara itu Teori Minimalis, yang merupakan hasil pemikiran teoritis mutakhir oleh Chomsky, dipandang oleh Smith sebagai revolution in the revolution . Bahkan Smith menyebutnya sebagai Perfect Syntax, yang bercirikan simplicity, naturalness, symmetry, elegance, and economy (hlm. 90).
2.2.3 Bab 3 ,Psychological Reality
Mengingatkan kita pada salah satu artikel klasik oleh Edward Sapir (1933), The Psychological Reality of Phonemes . Lebih ekstrem daripada pemikiran Sapir, konsep realitas psikologis dalam Linguistik Generatif menyarankan adanya pendekatan yang mentalistik serta penguasaan bahasa yang bersifat intuitif atau berupa tacit knowledge. Bertolak dengan the role of intuitions as evidence , Smith menyatakan bahwa psikologi dan linguistik saling terkait oleh titik- temu dalam tiga hal: pemrosesan bahasa, pemerolehan bahasa oleh anak, dan afasia dalam kasus-kasus patologis (hlm. 95). Dengan kata lain, realitas psikologis tidak dapat disamakan dengan data yang objective and observable atau neurophysiologically real . Misalnya, kategori kosong (empty category) dalam sintaksis merupakan salah satu contoh dari kebenaran realitas psikologis; ia dapat dibuktikan secara teoritis tetapi tidak muncul secara empirik dalam suatu ujaran. Singkatnya, a theory is psychologically real if it makes claims of psychological kind and is true (hlm. 97). Pembahasan mengenai realitas psikologis ini juga dimaksudkan sebagai pengukuhan terhadap psikologi kognitif dan sekaligus sebagai penolakan ulang terhadap psikologi behavioris.
2.2.4 .Bab 4 menegaskan posisi filsafat keilmuan Chomsky.
Pada bagian Introduction dinyatakan bahwa Chomsky telah berhasil menghidupkan dan mengukuhkan kembali filsafat Cartesian yang rasionalis; dan dalam bab 4 rasionalisme tersebut dijabarkan menjadi realisme, naturalisme, dan mentalisme. Chomsky is a mentalist in the sense that he is attempting to understand the workings of the human mind within the framework of the natural sciences (hlm. 143). Bab 5 atau bab terakhir dari buku ini, Language and Freedom , membicarakan kepedulian dan komitmen Chomsky terhadap masalah-masalah politik, baik di Amerika Serikat maupun di pentas internasional, serta keberaniannya yang luar biasa untuk menelanjangi pihak yang salah, terutama mereka yang menutupi kebenaran dengan kedok manipulasi-bahasa. Menurut Smith, baik di bidang linguistic maupun di bidang politik, Chomsky selalu berhasil memberikan penjelasan yang tuntas. Namun, tetap harus dibedakan bahwa di bidang pemikiran linguistik yang menonjol adalah explanatory depth, sedangkan di bidang analisis politik yang menonjol adalah descriptive breadth (hlm. 179).
2.3 Kesimpulan buku Chomsky: Ideas and Ideals secara keseluruhan
Buku ini sangat enak dibaca karena tidak terlalu banyak menggunakan istilah-istilah teknis, yang nota bene merupakan jargon dan ciri khas bagi perkembangan teoritis mutakhir dari Linguistik Generatif, Juga cara mengaitkan ide-ide baru dengan sejumlah tesis lama cukup sistematis, disertai dengan contoh-contoh yang memadai. Sayang, fokusperhatian Chomsky yang bergeser dari linguistic competence pada periode generatif klasik ke UG pada periode generatif mutakhir tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan. Padahal, bergesernya perhatian inilah yang mendorong lahirnya Teori GB dan Teori Minimalis. Bab terakhir dari buku ini, yang membicarakan Chomsky sebagai analis politik, memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sosok Chomsky sebagai ilmuwan dan aktivis. Perlu dicatat, untuk dapat sepenuhnya memahami pembahasan tentang linguistik dalam buku ini diperlukan pengetahuan dasar mengenai pemikiran kebahasaan Chomksy selama periode generatif klasik. Bobot kesarjanaan Chomsky serta pengaruhnya di dunia akademis sulit ditimbang dan dinilai secara lumrah. Dalam Introduction disebutkan bahwa (menjelang diterbitkannya buku ini) Chomsky telah menulis sekitar 75 buku, ratusan artikel, dan puluhan ribu surat (hlm. 4). Padahal sebagian besar dari tulisan Chosmky di bidang linguistik merupakan tulisan-tulisan yang berat , sehingga selalu diperlukan penafsiran untuk menyederhanakan ide-ide berat tersebut untuk bisa dicerna oleh khalayak akademisi yang lebih luas. Maka buku Smith ini hadir sebagai salah satu penafsiran terhadap Chomsky. Pengaruh Chomsky yang paling mendalam nampak di bidang linguistik, filsafat, dan psikologi. Namun di samping itu, Chomsky has had a minor but not insignificant effect on a range of disciplines from anthropology to mathematics, from education to literary criticism (hlm. 2). Maka tidak berlebihan jika Smith menyatakan bahwa kebesaran Chomsky sejajar dengan Darwin, Descartes, Einstein, dan Freud. Bahkan beberapa tahun sebelumnya, Pinker (1994) dan Harris (1995) telah menyatakanbahwa Chomsky adalah satu-satunya pemikir yang masih hidup, yang namanya paling banyak dikutip oleh ilmuwan sejagad. Tidak mengherankan pula bila Smith mengatakan, It has been a privilige to work in his [Chomsky s] shadow (ix). Ia juga mengatakan, Chomsky doesn t believe in heroes, but it is not surprising that for many he has become one (hlm. 214). Selanjutnya Smith mengakui, I am happy to admit that Chomsky is a hero for me (hlm. 5). Karena kekagumannya yang begitu mendalam terhadap Chomsky, maka buku Smith ini sama sekali tidak mengandung kritik.
2.4 Buku “The Linguistics Wars”
Secara keseluruhan buku The Linguistics Wars yang ditulis oleh Randy Allen Harris pada tahun 1995 yang diterbitkan oleh Oxford University Press dan memiliki 356 halaman merupakan suatu buku yang membahas suatu pertarungan gagasan dan konflik ideologis yang terjadi dalam ranah bidang kajian linguistic.
2.4.1 Pertarungan gagasan atau konflik ideologis ?
Kebiasaan menjual kata-kata besar di bidang linguistik ternyata terus berlanjut.The Linguistic Wars adalah sebuah judul buku yang gemuruh, dan tentu saja memikat dan bagus untuk dipasarkan (dan ternyata laris), meskipun di luar bidang linguistic peperangan ini nyaris tak terdengar. Judul yang gemuruh ini tentu saja mengingatkan kita pada peristiwa gemuruh lain yang mendahuluinya: the Chomskyan Revolution. Revolusi Chomsky berawal dengan gagasan radikal mengenai teori kebahasaan yang ia kemukakan dalam Syntactic Structures (1957), sebuah buku tipis yang kini menjadi klasik dan monumental. Semula gagasan radikal ini hanya menempati posisi pinggiran. Tetapi kemudian gerakan periferal ini mengambil posisi sentral, mendesak dan menyisihkan dominasi aliran strukturalisme pasca-Bloomfieldian, dan akhirnya muncul dengan kemenangan sebagai aliran baru, Gramatika Transformasi Generatif. Kitab suci aliran baru ini, yang juga buah pena Chomsky, adalah Aspects of the Theory of Syntax (1965). Agak mengherankan, bahwa duapuluh tahun setelah kemenangan Revolusi Chomsky masih dirasa perlu untuk meneriakkan kembali hebatnya revolusi itu misalnya oleh Frederick Newmeyer dalam sebuah artikel berjudul Has there been a Chomskyan Revolution in linguistics? yang diterbitkan dalam jurnal bergengsi Language pada tahun 1986. Tesis the Chomskyan Revolution juga dikukuhkan oleh Newmeyer sebagai judul bab 2 dalam bukunya yang bagus dan terkenal, Linguistic Theory in America (1986). Lalu, tiga dasawarsa setelah kemenangan Revolusi Chomsky, Randy Harris menulis The Linguistics Wars, dengan informasi yang kaya, alur gagasan yang jernih, dan gaya bahasa yang amat memikat perpaduan antara gaya bahasa ilmiah-populer, humor, dan sastra. Buku Newmeyer di atas bertutur seperti novel; sedangkan buku Harris bagaikan bercerita lewat naskah drama yang mengasyikkan. This is intellectual drama crossed with a Shakespearean history play , komentar The Sciences di sampul belakang. Begitu juga Word Ways memberikan pujian serupa, If you want to get a flavor of what modern linguistics is all about, read this book first you can t appreciate the players and their prejudices without this scorecard . The Linguistics Wars? Peperangan linguistik yang mana? Harris memulai ceritanya dengan peran utama linguistik sebagai ilmu, yaitu the study of the links between sound and meaning (hlm. 5). Tentu saja sekarang definisi ini bisa diterima secara luas, setelah makna dibebaskan dari penjaranya oleh linguistik generatif. Perlu diingat bahwa selama era strukturalisme, makna dianggap terlalu pelik untuk dikaji secara ilmiah, sehingga studi tentang makna diharamkan (periksa Bloomfield 1933: 140). Juga perlu dicatat bahwa frasa sound and meaning di atas sekaligus menyarankan urutan kajian. Artinya, dalam mempelajari bahasa, linguistik bergerak dari mengkaji bunyi bahasa menuju makna, dan bukan sebaliknya; karena bunyi bahasa adalah aspek kongkret dari bahasa, sedangkan makna adalah aspek abstraknya. Kajian kebahasaan yang bermula dari 2 bunyi menuju makna ini nampak dengan jelas dalam penelitian terhadap bahasa-bahasa yang belum memiliki sistem tulisan. Kajian semacam ini lazimnya akan menghasilkan secara berurutan fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan kemudian semantik dari bahasa tersebut. Setelah kelima cabang linguistik mengenai bahasa itu dikaji dengan saksama, tidak tertutup kemungkinan untuk meletakkan sintaksis pada posisi sentral, dan cabang-cabang kebahasaan lainnya pada posisi periferal, seperti yang lazim dilakukan oleh linguistik generatif. Dalam mengkaji fonetik sampai dengan sintaksis, atau, dari sintaksis sampai ke fonetik (kalau bahasanya sudah diketahui), Chomsky dan para pengikutnya tidak banyak bertentangan pendapat. Tetapi, setelah mengkaji semantik (yang abstrak dan alusif itu), pertentangan pendapat mulai muncul. Ini memang gara-gara kitab suci mereka, Aspects, yang secara terang-terangan menghalalkan studi tentang makna. Seperti dikatakan oleh Newmeyer (1986: 80), Aspects of the Theory of Syntax [...] for a time played the role of the Bible of grammatical theory. An old saying about the Bible (the holy one) is that even the devil could use it for their own purposes . Lalu, setan manakah yang menggunakan Aspects untuk membenarkan tujuan mereka sendiri? Dan apa pula yang menyebabkan setan tersebut berbuat demikian? Bab 4 dari The Linguistics Wars berjudul The Beauty of Deep Structure . Rupanya kecantikan struktur batin inilah yang menggoda sebagian pengikut Chomsky untuk menelusuri makna lebih dalam. Ada baiknya kita lihat lebih dulu konfigurasi teori kebahahasaan yang dikemukakan oleh Aspects, seperti pada diagram 1 berikut. Model ini menjunjukkan bahwa sintaksis menduduki posisi sentral. Dari atas ke bawah (mulai dari phrase structure rules & lexical insertion sampai dengan surface structure), semuanya adalah aspek-aspek sintaksis. Sedangkan semantik, seperti halnya fonetik, hanya diberi phrase structure rules & lexical insertion deep structure semantic interpretation transformational rules surface structure phonetic interpretation
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan perbandingan kedua buku yaitu antara “Chomsky: Ideas and Ideals” Dan “The Linguistics Wars”
Buku Smith yang berjudul “Chomsky: Ideas and Ideals” ini sama sekali tidak mengandung kritik. Bahkan terkesan adanya pembelaan yang agak berlebihan terhadap semua gagasan Chomsky yang, mungkin sekali, tidak diperlukan oleh ilmuwan sekaliber Chomsky. Di bidang ilmu pengetahuan, tidak-adanya kritik bisa menciptakan fanatisme, dan dapat berujung pada pendewaan ilmu menjadi agama . Untuk tidak terjebak pada fanatisme buta, mereka yang tertarik membaca buku Smith ini perlu mengimbanginya dengan, misalnya, membaca buku Harris (1995), The Linguistics War, untuk dapat melihat potret Chomsky yang lebih lengkap. Akhirnya, terlepas dari pro dan kontra terhadap pemikiran Chomsky, para bahasawan patut merasa senang dan bangga, karena martabat linguistik ikut terangkat dan menjadi lebih terhormat di panggung internasional berkat kebesaran dan karisma Noam Chomksy.
Berbeda dengan buku The Linguistics Wars yang ditulis oleh Randy Allen Harris yang memberikan begitu banyak pertentangan terhadap buku karya Chomsky sebagai contoh Haris mengatakan “Struktur dalam yang dikemukakan Chomsky terlalu dangkal. Jika dalam linguistik generatif terdapat sintaksis generatif dan juga fonologi generatif, mengapa semantik generatif tidak muncul? Istilah (bahasa Inggris) generative itu sendiri memang taksa atau mengandung arti ganda. Dalam satu penafsiran, ia bisa berarti generating/producing , seperti disarankan oleh model diagram alir di atas. Tetapi dalam penafsiran lain, terutama yang dikendaki oleh Chomsky, ia berarti specifying the rules, or making explicit the hidden/implicit rules which constitute the linguistics competence . Maksudnya, membuat jelas dan eksplisit hukum-hukum kebahasaan yang tersembunyi dan membentuk kompetensi bahasa yang bersifat mentalistik”.
Istilah linguistics wars itu sendiri digunakan pertama kali oleh Paul Postal, untuk menunjukkan betapa sengit dan buruknya pertentangan antara kaum (semantik) interpretif , yang dipimpin oleh Chomsky, dan kaum (semantik) generatif , yang dimotori terutama oleh George Lakoff. Agak ironis juga bahwa Chomsky, bapak linguistic generatif itu, pada suatu saat dalam karier ilmiahnya harus berperang melawan para (bekas) muridnya sendiri, yang menamakan diri kaum generatif . Perang itu telah padam pada akhir dasawarsa1970-an, dan Chomsky, seperti dalam revolusinya terdahulu, sekali lagi keluar sebagai pemenang yang gemilang. Kini perang telah usai, dan aliran semantic generatif telah menjadi alharhum. Lalu, mengapa Harris bersusah payah menulis The Lingustics Wars? Dengan buku ini, dia bermaksud meluruskan sejarah yang bengkok. My hope is that linguists will find this book useful, since many of them have a shaky partisan view of their own recent history... (hlm. vii, cetak miring ditambahkan). Lewat alegori Al-Kitab dan setan dalam kutipan di atas, Newmeyer, yang nota bene berpihak pada kubu Chomsky, secara tidak langsung memandang kaum semantik generatif sebagai si setan. Pandangan seperti inilah yang dinilai oleh Harris sebagai a shaky partisan view of their recent history . Kebenaran sejarah adalah kebenaran mengenai rekonstruksi dan interpretasi terhadap peristiwa masa lampau.
Harris, lewat studi pustakanya yang begitu cermat dan mendalam, memang berhasil menguakkan bukan saja hal-hal yang melenceng pada kubu kaum generatif, tetapi juga sisi-sisi buram pada kubu kaum interpretif yang selama ini tak pernah terungkap. Gagasan semacam apakah yang ditawarkan oleh kaum semantik generatif? Dari sepuluh bab dalam buku The Linguistics Wars, empat bab di antaranya membahas secara tuntas sejarah semantik generatif, mulai dari munculnya sampai dengan runtuhnya: Generative Semantics.
Harris menggunakan metafora yang bagus. Semantik generatif adalah sebuah kapal pecah yang karam ke dasar lautan. Jadi, siapa saja yang melihat kapal karam tersebut boleh mengambil apa saja yang bisa diselamatkannya tanpa harus mengucapkan terima kasih kepada siapa pun. Itulah the right of salvage . Dan yang melihat kapal karam itu antara lain adalah kaum interpretif, yang kemudian tanpa ragu-ragu memungut sejumlah gagasan dari sang almarhum tanpa berterima kasih kepadanya. Sejumlah gagasan itu, antara lain, logical form (LF), indexing devices, traces, filters, dan anaphoric pronouns as bound variables yang semuanya kemudian digunakan dalam Government- Binding (GB) Theory. (Edisi sampul tebal (1993) dari buku Harris ini terbit dua tahun sebelum Chomsky menerbitkan The Minimalist Program (1995), teori kebahasaan terakhir yang merupakan revisi bagi teori GB.) Bahkan dalam teori minimalis ini pun istilah-istilah yang berasal dari the right of salvange tersebut tetap dipakai juga tanpa ucapan terima kasih. Di muka telah disebutkan, bahwa The Linguistics Wars bermaksud meluruskan sejarah. Maka menarik untuk kita tanyakan: bagaimana reaksi mereka yang terlibat dalam sejarah tersebut? Atau lebih tepatnya, bagaimana reaksi Chomsky dan Lakoff terhadap buku ini? Ternyata mereka berdua tidak senang. Chomsky mengatakan buku ini memihak pada kaum semantik generatif. Sebaliknya Lakoff mengatakan buku ini memihak pada kaum semantik interpretif. Lalu, bagaimana tanggapan Harris, sebagai pengarang, terhadap sikap Chomsky dan Lakoff tersebut? I am naturally distressed by their negative reactions, but it would have unquestionably been impossible to satisfy both; perhaps by satisfying neither, I am closer to neutrality than either of them believe (hlm. ix). Namun tidak semua pihak tersinggung. Newmeyer, yang lebih dekat pada kaum interpretif dan juga mencatat sejarah konflik ideologis antara kubu interpretif dan kubu generatif (dalam bab 4 dan 5 dari bukunya, Linguistic Theory in America, yang telah disebutkan di depan), mengakui bobot ilmiah serta obyektifitas karya Harris ini. Tanpa ragu-ragu ia mengatakan (seperti dikutip di sampul belakang), Harris writes with erudition and wit and always succeeds in presenting the balanced view of the controversies that have raged in the history of generative grammar. He made me reconsider a number of positions that I have argued for in my own work.
Walaupun banyak dijumpai banya perbedaan dalam kedua buku ini namun pada intinya bkedua buki ini memberikan kita perbandingan-perbandingan yang jelas dan signifikan dalam penjabarannya mengenai linguistic,sehingga buki ini kedua buku ini menjadi bacaan wajib dalam mempelaji mata kuliah lingusitik.
3.2 Saran dan Kritik
Silahkan memberikan saran dan kritik yang membangun kreatifitas penyusun sehingga paenulisan ini akan menjadi suatu karya yang lebih baik lagi dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, Massachustetts:
The MIT Press.
Smith,Neil. 1999. Chomsky: Ideas and Ideals. Cambridge University Press
Harris, Randy A. 1995. The Linguistics Wars. New York / Oxford: Oxford University
Press.
http://sastra.um.ac.id
www.wikipedia.com
www.google.co.id
biografi SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA
Layar terkembang adalah salah satu masterpiece dari seorang Sutan Takdir Alisyahbana, tidak hanya dikenal sebagai seorang sastrawan, tapi dia juga adalah seorang pendidik, penerbit, dan ahli filsafat. Di dalam hidupnya Sutan Takdir Alisyahbana sering terlibat dalam diskusi seni yang pokok pembahasannya adalah “ mempertahankan gagasan tentang pemertahanan terhadap budaya lokal “.Beliau lahir pada tanggal 11 Februari 1908 di Natal, Sumatra Utara. . Ia bukan hanya pendiri Angkata Poedjangga Baru. Ia menjadi salah satu peletak dasar peradaban bangsa dengan menjadikan bahasa Indoneisa sebagai bahasa modern. Lewat Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia yang ditulisnya, Takdir (begitu ia disebut) adalah guru pelajaran bahasa Indonesia di setiap sekolah. Dalam komisi Bahasa Indonesia, Organisasi buatan Jepang, Takdir berhasil menghimpun 400 ribu istilah dalam bahasa Indonesia. Takdir mengaku orang campuran. Ayahnya berdarah Jawa, yaitu Raden Alisjahbana gelar sultan Arbi. Gelar raden itu suatu kelak diakui kesultanan Yogyakarta. Malah, ia pernah disuruh mengamat-amati aktivitas Sentot Alibasjah (pengikut pangeran Diponegoro) yang dibuang di Bengkulu.
Ayah Takdir, Raden Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya “Layar Terkembang”.
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, Takdir melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, Takdir melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah Takdir bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Arminjn Pane.
Takdir pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, Takdir pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Takdir sudah menulis sejak berusia 17 tahun. Ketika masih tinggal di Muara Enim, ia mengarang surat-surat Tani dalam bahasa Belanda. Sempat berkecimpung di dalam dunia pendidikan, Takdir akhirnya memilih terjun di dunia tulis –menulis. Ketika Adinegoro, redaktur Panji Poestaka, pindah ke Medan, posisinya digantikan Takdir. Saat itu ia mulai merintis Gerakan Sastra Baroe tahun 1933, dengan melibatkan para intelektual zaman itu,seperti Armijn Pane dan Amir Hamzah. Sekitar 20 orang intelektual Indonesia menjadi inti gerakan Poedjangga baru, diantaranya Prof. Husein Djajaningrat, Maria Ulfah Santoso, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta.
Poedjangga baru diterbitkan pertaman kali oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer, seorang berkebangsaan Belanda. Perjalanan Takdir dalam dunia sastra menghasilkan suatu kesimpulan yang akan terus menjadi visi perjuangannya. Baginya, sastra yang bertanggungjawab adalah yang bisa menjadi kebangkitan dunia baru. Tidak eksklusif dalam individualisme atau sekedar mencurahkan perasaan yang egois, tanpa kepedulian terhadap krisis yang terjadi dalam masyarakat. Modernitas yang dilandasi rasionalitas adalah kunci pemikiran Takdir. Konsep inilah yang ia pertahankan sejak Polemik Kebudayaan di era 30-an.
Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang saya namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional yang dikuasai oleh nilai-nilai agama dan seni). Yang pertama berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi, tulis Takdir di tahun 1986. Bagi Takdir, kebudayaan adalah totalitas ilmu, teknologi, dan agama. Ia pendiri Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) serta Universitas Nasional, ia sempat lama jadi rektor. Ia tak pernah letih menganjurkan penerjemahan karya-karya asing secara besar-besaran. Lihat Jepang, mereka sampai menerjemahkan ensiklopedi, katanya.
Sutan Takdir Alisyahbana adalah tipe orang yang suka melakukan sesuatu dengan penuh totalitas.“ saya adalah orang fanatik dalam melakukan sesuatu…”.Sutan Takdir Alisyahbana berpendapat bahwa semua orang menerima bahwa kemajuan itu adalah berdasarkan kemajuan budaya modern, kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, bukan berasal dari kebudayaan nenek moyang. Menurutnya pemuda bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang dilakukan oleh nenek moyang. Sastra yang dibangun itupun haruslah sastra yang sesuai dengan perasaan, pemikiran, dan suasana masyarakat yang menuju kearah zaman sekarang yang melihat kedepan itu, yang dianggap lebih rasionalis.
Yang menjadi pusat perhatian sutan Takdir Alisyahbana adalah menyiapkan Bahasa Indonesia untuk menjadi sarana pemikiran baru dalam kehidupan. Makna yang tersirat di dalam Kata Poejangga baru itu sendiri adalah Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum.
“ Kita harus bangkit ke Kesusastraan baru, menyesuaikan diri akan masyarakat akan kebudayaan yang cepat berubah, peran sastra itu harus bertnggung jawab kepada Bangsa Indonesia…”
Begitulah tegas Sutan Takdir Alisyahbana dalam rekaman wawancara, dalam penerbitan karya sastranya, ia tidak sembarangan, karya – karyanya yang diterbitkan selalu mengalami proses koreksi yang panjang, karena baginya karya sastra itu adalah sebuah tanggung jawab.“ suatu karya sastra itu adalah sebuah tanggung jawab, apa yang ada dialam pikiran itu dituliskan dan diucapkan tanpa ada filsafat yang mendasarinya “.
Selama hidupnya beliau telah menciptakan berbaga macam karya ,diantaranya adalah:
• Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
• Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
• Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
• Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
• Layar Terkembang (novel, 1936)
• Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
• Puisi Lama (bunga rampai, 1941)Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
• Pelangi (bunga rampai, 1946)Pembimbing ke Filsafat (1946)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
• The Indonesian language and literature (1962)
• Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
• Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
• Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
• Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
• The failure of modern linguistics (1976)
• Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
• Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
• Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
• Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)Kalah dan Menang (novel, 1978)
• Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
• Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
• Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
• Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
• Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
• Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
• Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).
Buku mengenai STA: Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) dan S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006).
Beliau juga banyak mendapatkan penghargaan diantarannya:
• Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
• STA adalah pelopor dan tokoh "Pujangga Baru".
Seperti kata-katanya “ dan hidup berjalan terus…”.Beliau memang telah tiada ,ajal menjemputnya pada tanggal 17 juli 1995,namun masih ada sesuatu yang ingin beliau wujudkan yaitu menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan
Ayah Takdir, Raden Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya “Layar Terkembang”.
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, Takdir melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, Takdir melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah Takdir bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Arminjn Pane.
Takdir pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, Takdir pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Takdir sudah menulis sejak berusia 17 tahun. Ketika masih tinggal di Muara Enim, ia mengarang surat-surat Tani dalam bahasa Belanda. Sempat berkecimpung di dalam dunia pendidikan, Takdir akhirnya memilih terjun di dunia tulis –menulis. Ketika Adinegoro, redaktur Panji Poestaka, pindah ke Medan, posisinya digantikan Takdir. Saat itu ia mulai merintis Gerakan Sastra Baroe tahun 1933, dengan melibatkan para intelektual zaman itu,seperti Armijn Pane dan Amir Hamzah. Sekitar 20 orang intelektual Indonesia menjadi inti gerakan Poedjangga baru, diantaranya Prof. Husein Djajaningrat, Maria Ulfah Santoso, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta.
Poedjangga baru diterbitkan pertaman kali oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer, seorang berkebangsaan Belanda. Perjalanan Takdir dalam dunia sastra menghasilkan suatu kesimpulan yang akan terus menjadi visi perjuangannya. Baginya, sastra yang bertanggungjawab adalah yang bisa menjadi kebangkitan dunia baru. Tidak eksklusif dalam individualisme atau sekedar mencurahkan perasaan yang egois, tanpa kepedulian terhadap krisis yang terjadi dalam masyarakat. Modernitas yang dilandasi rasionalitas adalah kunci pemikiran Takdir. Konsep inilah yang ia pertahankan sejak Polemik Kebudayaan di era 30-an.
Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang saya namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional yang dikuasai oleh nilai-nilai agama dan seni). Yang pertama berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi, tulis Takdir di tahun 1986. Bagi Takdir, kebudayaan adalah totalitas ilmu, teknologi, dan agama. Ia pendiri Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) serta Universitas Nasional, ia sempat lama jadi rektor. Ia tak pernah letih menganjurkan penerjemahan karya-karya asing secara besar-besaran. Lihat Jepang, mereka sampai menerjemahkan ensiklopedi, katanya.
Sutan Takdir Alisyahbana adalah tipe orang yang suka melakukan sesuatu dengan penuh totalitas.“ saya adalah orang fanatik dalam melakukan sesuatu…”.Sutan Takdir Alisyahbana berpendapat bahwa semua orang menerima bahwa kemajuan itu adalah berdasarkan kemajuan budaya modern, kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, bukan berasal dari kebudayaan nenek moyang. Menurutnya pemuda bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang dilakukan oleh nenek moyang. Sastra yang dibangun itupun haruslah sastra yang sesuai dengan perasaan, pemikiran, dan suasana masyarakat yang menuju kearah zaman sekarang yang melihat kedepan itu, yang dianggap lebih rasionalis.
Yang menjadi pusat perhatian sutan Takdir Alisyahbana adalah menyiapkan Bahasa Indonesia untuk menjadi sarana pemikiran baru dalam kehidupan. Makna yang tersirat di dalam Kata Poejangga baru itu sendiri adalah Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum.
“ Kita harus bangkit ke Kesusastraan baru, menyesuaikan diri akan masyarakat akan kebudayaan yang cepat berubah, peran sastra itu harus bertnggung jawab kepada Bangsa Indonesia…”
Begitulah tegas Sutan Takdir Alisyahbana dalam rekaman wawancara, dalam penerbitan karya sastranya, ia tidak sembarangan, karya – karyanya yang diterbitkan selalu mengalami proses koreksi yang panjang, karena baginya karya sastra itu adalah sebuah tanggung jawab.“ suatu karya sastra itu adalah sebuah tanggung jawab, apa yang ada dialam pikiran itu dituliskan dan diucapkan tanpa ada filsafat yang mendasarinya “.
Selama hidupnya beliau telah menciptakan berbaga macam karya ,diantaranya adalah:
• Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
• Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
• Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
• Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
• Layar Terkembang (novel, 1936)
• Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
• Puisi Lama (bunga rampai, 1941)Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
• Pelangi (bunga rampai, 1946)Pembimbing ke Filsafat (1946)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
• The Indonesian language and literature (1962)
• Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
• Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
• Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
• Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
• The failure of modern linguistics (1976)
• Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
• Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
• Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
• Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)Kalah dan Menang (novel, 1978)
• Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
• Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
• Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
• Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
• Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
• Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
• Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).
Buku mengenai STA: Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) dan S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006).
Beliau juga banyak mendapatkan penghargaan diantarannya:
• Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
• STA adalah pelopor dan tokoh "Pujangga Baru".
Seperti kata-katanya “ dan hidup berjalan terus…”.Beliau memang telah tiada ,ajal menjemputnya pada tanggal 17 juli 1995,namun masih ada sesuatu yang ingin beliau wujudkan yaitu menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan
biografi Haji Ali Akbar Navis
Haji Ali Akbar Navis
A.A. Navis merupakan putra kelahiran tanah Sumatra,lahir di Kampung Jawa ,suatu tempat di daerah Padang, Sumatra Barat,pada tanggal 17 November 1924.”A.A Navis” adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya, menulis merupakan bakat alami yang melekat pada dirinya. Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932 sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei . Lebih dari 20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen, puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam dunia sastra Indonesia.”Robohnya Surau Kami” kita sering mendengar cerita pendek itu,itu adalah salah satu karyanya yang sangat terkenal karena ceritanya penuh dengan intrik-intrik yang menarik untuk diikuti.Yang roboh di dalam cerita itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai seperti yang dialami Negara kita ini. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Robohnya Surau Kami, terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah, (1955). Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Dia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri. Navis 'Sang Pencemooh' begitu Ia mendapatkan julukannya adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar pada tanggal 22 Maret 2003 lalu,dalam usianya yang berumur 78 tahun A.A Navis menghembuskan nafas terakhirnya. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes.Navis sangat menaruh perhatian yang amat sangat besar dalam dunia sastra di Indonesia,hal itu terbukti ketika dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.
.A.A Navis juga sering berkomentar mengenai perkembangan dunia sastra di Indonesia Dia melihat Perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. “Dulu si pengarang itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. Sekarang memang banyak pengarang lahir. Dulu juga banyak, cuma penduduk waktu itu 80 juta dan sekarang 200 juta. Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental, yang aneh memang banyak,” katanya. Perihal orang Minang, dirinya sendiri, dia mengatakan keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. “Yang benar, penuh perhitungan,” katanya, dia mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. “Yang benar galia atau galir, ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar)”, selorohnya.
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.
Selain itu “sang pencemooh” juga memiliki pandangan-pandangan tersendiri ketia ia berbicara mengenai Indonesia .Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi, orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.
Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.
Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah "tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.begitu banyak pemikiran-pemikiran, ide-ide serta masukan-masukannya di dalam dunia sastra Indonesia,sehingga ketika ia pergi banyak sekali orang-orang yang merindukannya. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:
• Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)
• Gerhana: novel (2004)
• Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)
• Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
• Dermaga Lima Sekoci (2000)
• Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
• Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)
• Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
• Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
• Surat dan Kenangan Haji (1994)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)
• Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
• Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
• Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
• Di Lintasan Mendung (1983)
• Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
• Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
• Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
• Kemarau (1967)
• Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
• Hudjan Panas (1963)
• Robohnya Surau Kami (1955)
Selain itu A.A Navis juga banyak mendapatkan penghargaan atas karya-karya yang telah ia ciptakan,diantaranya adalah:
1. Peraih hadiah sastra bergengsi di Asia, Sea Write Award (1974)
2. Hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988)
3. Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989)
4. Lencana Jasawan
5. Hadiah sastra dari Mendikbud (1992)
6. Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994)
7. Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999)
8. Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI
Selain menjadi sastrawan Ia pernah menjabat dan berpofesi sebagai,Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, di Bukittinggi (1952-1955),Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1972),Dosen part time Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, jurusan Sosiologi Minangkabau (1983-1985),Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS, Kayutanam sejak tahun 1968,Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat .
Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual,walaupun kini “sang pencemooh” telah tiada,namun kontribusinya dalam dunia sastra Indonesia manjadi sebuah harta yang harus kita jaga dan kita hargai selamanya
A.A. Navis merupakan putra kelahiran tanah Sumatra,lahir di Kampung Jawa ,suatu tempat di daerah Padang, Sumatra Barat,pada tanggal 17 November 1924.”A.A Navis” adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya, menulis merupakan bakat alami yang melekat pada dirinya. Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932 sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei . Lebih dari 20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen, puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam dunia sastra Indonesia.”Robohnya Surau Kami” kita sering mendengar cerita pendek itu,itu adalah salah satu karyanya yang sangat terkenal karena ceritanya penuh dengan intrik-intrik yang menarik untuk diikuti.Yang roboh di dalam cerita itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai seperti yang dialami Negara kita ini. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Robohnya Surau Kami, terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah, (1955). Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Dia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri. Navis 'Sang Pencemooh' begitu Ia mendapatkan julukannya adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar pada tanggal 22 Maret 2003 lalu,dalam usianya yang berumur 78 tahun A.A Navis menghembuskan nafas terakhirnya. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes.Navis sangat menaruh perhatian yang amat sangat besar dalam dunia sastra di Indonesia,hal itu terbukti ketika dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.
.A.A Navis juga sering berkomentar mengenai perkembangan dunia sastra di Indonesia Dia melihat Perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. “Dulu si pengarang itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. Sekarang memang banyak pengarang lahir. Dulu juga banyak, cuma penduduk waktu itu 80 juta dan sekarang 200 juta. Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental, yang aneh memang banyak,” katanya. Perihal orang Minang, dirinya sendiri, dia mengatakan keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. “Yang benar, penuh perhitungan,” katanya, dia mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. “Yang benar galia atau galir, ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar)”, selorohnya.
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.
Selain itu “sang pencemooh” juga memiliki pandangan-pandangan tersendiri ketia ia berbicara mengenai Indonesia .Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi, orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.
Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.
Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah "tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.begitu banyak pemikiran-pemikiran, ide-ide serta masukan-masukannya di dalam dunia sastra Indonesia,sehingga ketika ia pergi banyak sekali orang-orang yang merindukannya. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:
• Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)
• Gerhana: novel (2004)
• Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)
• Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
• Dermaga Lima Sekoci (2000)
• Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
• Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)
• Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
• Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
• Surat dan Kenangan Haji (1994)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)
• Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
• Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
• Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
• Di Lintasan Mendung (1983)
• Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
• Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
• Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
• Kemarau (1967)
• Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
• Hudjan Panas (1963)
• Robohnya Surau Kami (1955)
Selain itu A.A Navis juga banyak mendapatkan penghargaan atas karya-karya yang telah ia ciptakan,diantaranya adalah:
1. Peraih hadiah sastra bergengsi di Asia, Sea Write Award (1974)
2. Hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988)
3. Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989)
4. Lencana Jasawan
5. Hadiah sastra dari Mendikbud (1992)
6. Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994)
7. Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999)
8. Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI
Selain menjadi sastrawan Ia pernah menjabat dan berpofesi sebagai,Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, di Bukittinggi (1952-1955),Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1972),Dosen part time Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, jurusan Sosiologi Minangkabau (1983-1985),Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS, Kayutanam sejak tahun 1968,Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat .
Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual,walaupun kini “sang pencemooh” telah tiada,namun kontribusinya dalam dunia sastra Indonesia manjadi sebuah harta yang harus kita jaga dan kita hargai selamanya
Sabtu, 14 November 2009
opini publik dan gerakan mahasiswa
BAB 1
Pendahuluan
Gerakan Mahasiswa merupakan fenomena gerakan politik kelas menengah yang terjadi di berbagai negara tak terkecuali indonesia. Digolongkan kedalam kelas menengah karena secara ekonomi mahasiswa berasal dari keluarga yang mampu setidaknya mampu membayar kuliah . Sedangkan melalui proses pendidikan mahasiswa memperoleh kesadaran politik untuk memahami apa yang baik dan buruk berdasarkan norma – norma bermasyarakat dan bernegara .
Namun sebelumnya apakah yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa ? Apa saja ruang lingkupnya ? mengajukan pertanyaan seperti menjadi penting , karena di kalangan mahsiswa sendiri masih terjadi perbedaan – perbedaan pemahaman yang mengakibatkan benturan antar kelompok dalam pilihan pola gerakan. Menurut Philip G Albach gerakan mahasiswa pecah apabila ketidakpuasan tersebut disusun berdasarkan ideologi sembari memberikan alternatif penyelesaiannya.
Jika kita menggunakan perbandingan politik , gerakan mahasiswa memang memiliki pola gerakan yang berbeda – beda antara lain kondisi struktur politik , kultur politik dan geo politik yang berbeda . Meski demikian , meanstream gerakan mahasiswa adalah gerakan moral yang umumnya terkonsolidasi karena rezim pemerintahan otoriter atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan norma – norma masyarakat umum bahkan isu tata hubungan internasional
Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Opini bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".
BAB 2
Karakteristik Mahasiswa
Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. Shill menyebukan ada lima fungsi kaum intelektual yakni mencipta dan penyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Sementara itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi.
Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik,Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda.
Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Sebagai Gerakan Moral
Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial yang didefinisikan Nan Lin (1992) Kedua , sebagai upaya kolektif untuk memajukan atau melawan perubahan dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Rudolf Heberle (1968)Ketiga , menyebutkan bahwa gerakan sosial merujuk pada berbagai ragam usaha kolektif untuk mengadakan perubahan tertentu pada lembaga-lembaga sosial atau menciptakan orde baru. Bahkan Eric Hoffer (1988) Keempat ,menilai bahwa gerakan sosial bertujuan untuk mengadakan perubahan.
Teori awal menyebutkan, sebuah gerakan muncul ketika masyarakat menghadapi hambatan struktural karena perubahan sosial yang cepat seperti disebutkan Smelser (1962). Teori kemacetan ini berpendapat bahwa “pengaturan lagi struktural dalam masyarakat seperti urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan hilangnya kontrol sosial dan meningkatkan “gelombang menuju perilaku antisosial”. Kemacetan sistemik ini dikatakan menjadi penyebab meningkatnya aksi mogok, kekerasan kolektif dan gerakan sosial dan mahasiswa Pakar kontemporer tentang gerakan sosial mengkritik teori-teori kemacetan dengan alasan empirik dan teoritis.
Denny JA juga menyatakan adanya tiga kondisi lahirnya gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa.Kelima , Pertama, gerakan sosial dilahirkan oleh kondidi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter.
Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluasnya gerakan sosial.
Ketiga, gerakan sosial semata-masa masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan.
Gerakan mahasiswa mengaktualisikan potensinya melalui sikap-sikap dan pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal. Ciri khas gerakan mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya.
Gerakan moral ini diakui pula oleh Arief Budiman yang menilai sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya mereka sendiri. Mahasiswa, tulis Arief Budiman, sering menenkankan peranannya sebagai “kekuatan moral” dan bukannya “kekuatan politik”.Keenam , Aksi protes yang dialncarkan mahassiwa berupa demonstrasi di jalan dinilai juga sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis.
Arief Budiman juga menambahkan, konsep gerakan moral bagi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam sistem politik.
Ketujuh ,Setelah pendobrakan dillakukan maka adalah tugas kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam hal ini partai-partai atau organisasi politik yang lebih mapan yang melakukan pembenahan.
Sependapat dengan Arief Budiman, Arbi Sanit menyatakan komitmen mahasiswa yang masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan keseharian mereka dalam mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan yang digeluti adalah sadar politik mahasiswa. Karena itu politik mahasiswa digolongkan sebagai kekuatan moral Kedelapan , Kemurnian sikap dan tingkahlaku ,mahassiwa menyebabkan mereka dikategorikan sebagai kekuatan moral, yang dengan sendirinya memerankan politik moral.
Gerakan Massa
Namun seperti halnya gerakan sosial umumnya senantiasa melibatkan pengorganisasian. Melalui organisasi inilah gerakan mahasiswa melakukan pula aksi massa, demonstrasi dan sejumlah aksi lainnya untuk mendorong kepentingannya. Dengan kata lain gerakan massa turun ke jalan atau aksi pendudukan gedung-gedung publik merupakan salah satu jalan untuk mendorong tuntutan mereka.
Dalam mewujudkan fungsi sebagai kaum intelektual itu mahasiswa memainkan peran sosial mulai dari pemikir, pemimpin dan pelaksana. Sebagai pemikir mahasiswa mencoba menyusun dan menawarkan gagasan tentang arah dan pengembangan masyarakat. Peran kepemimpinan dilakukan dengan aktivitas dalam mendorong dan menggerakan masyarakat. Seadngkan keterlibatan mereka dalam aksi sosial, budaya dan politik di sepanjarang sejarah merupakan perwujudkan dari peran pelaksanaan tersebut.
Upaya mahasiswa membangun organisasi sebagai alat bagi pelaksanaan fungsi intelektual dan peran tidak lepas dari kekhasannya. Motif mahasiswa membangun organisasi adalah untuk membangun dan memperlihatkan identitas mereka didalam merealisaskan peran-peran dalam masyarakatnya. Bahkan mereka membangun organisasi karena yakin akan kemampuan lembaga masyarakat tersebut sebagai alat perjuangan.
Bentuk-bentuk gerakan mahasiswa mulai dari aktivias intelektual yang kritis melalui seminar, diskusi dan penelitian merupakan bentuk aktualiasi .
Selain kegiatan ilmiah, gerakan mahasiswa juga menyuarakan suara moralnya dalam bentuk petisi, pernyataan dan suara protes.
Bentuk-bentuk konservatif ini kemudian berkembang menjadi radikalisme yang dimulai dari aksi demonstrrai dalam kampus. Secara perlahan karena perkembangan di lapangan dan keberanian mahasiswa maka aksi protes dilanjutkan dengan turun ke jalan-jalan.
Bentuk lain dari aktualisasi peran gerakan mahasiswa ini dilakukan dengan menurunkan massa mahasiwa dalam jumlah besar dan serentak. Kemudian mahasiswa ini dalam mendorong desakan reformasi politiknya melakukan kependudukan atas bangunan pemerintahan dan menyerukan pemboikotan. Untuk mencapai cita-cita moral politik mahasiwa ini maka muncul berbagai bentuk aksi seperti umumnya terjadi dalam, gerakan spesial. Arbi menyatakan, demonstarsi yang dilakukan mahasiwa fungsinya sebagai penguat tuntutan bukan sebagai kekuatan pendobrak penguasa. Strategi demonstasi diluar kampus merupakan bagian dari upaya membangkitkan semangat massa mahasiswa.
Peran mahasiswa sebagai gerakan moral dan gerakan massa untuk mendorong reformasi politik adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual. Berbeda dengan gerakan revolusi, gerakan reformasi seperti dikatakan,Nanlin, berbeda dengan gerakan revolusi yang mengejar perubahan struktural yang fundamental. Gerakan reformasi berusaha memdofikasi hubungan struktural tanpa mengancam eksistensi insitusi.
Menurut Arbi ada dua tahap dalam reformasi politik. Pertama, tahap transisi yang merupakan proses peralihan dari proses krisis politik ke proses normal kehidupan politik. Di tahap transisi, pemicu proses reformasi akan mengawali aktualisasinya. Ada lima kemungkinan peristiwa politik yang berpotensi menjadi pemicu yang akan mengawali berlangsungnya proses reformasi politik yaitu kudeta, kesadaran penguasa, tekanan publik opini kepada penguasa, presiden meninggal dan people’s power yang aktif dan kuat.
Tahap kedua, reformasi normal dimana reformasi dilakukan dalam kerangka sistem politik yang ada. Reformasi normal ini dilakukan melalui reformasi suprastruktur dan infrastruktur.
Arbi Santi menyebutkan, reformasi politik mahasiwa terfokus kepada suksesi kepemimpinan, penegakan pemerintahan yang kuat-efektif sehingga produktif, penegakan pemerintahan yang bersih, penetapan kebijakan puiblik yang adil dan tepat dan demokratisasi politik.
PERGERAKAN MAHASISWA ERA ORDE BARU
PROTES-protes heroik mahasiswa anti-komunis di bawah Orde Baru, kerap disebut gerakan mahasiswa. Aliansi segitiga tentara, teknokrat dan mahasiswa mengawali demonstrasi turun ke jalan untuk menumbangkan rezim Soekarno yang sedang runtuh: tiga tuntutan rakyat (tritura) pada 1966. Elite militer membentuk pemerintahan Orde Baru dan menggelar pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Partai-partai pun dikendalikan oleh rezim yang berkuasa untuk mendukung pembangunan. Rakyat kemudian diubah menjadi 'massa mengambang' (floating mass) yang tidak boleh menghalangi pembangunan.
Setelah itu, mahasiswa kembali ke kampus (back to campus). Proses demo menyuarakan protes dan kisah kepahlawanan menumbangkan Soekarno yang didaur ulang, serta kemudian kembali ke bangku kuliah tanpa merasa punya kepentingan menikmati kursi kekuasan politik, maka mitos peran mahasiswa pun dibaptis sebagai “gerakan moral”. Identitas politiknya adalah kaum intelektual yang melakukan kritik terhadap pemerintah, tanpa ambisi berkuasa dan bebas kepentingan politik. Inilah lakon mahasiswa sebagai resi yang terus didaur ulang sebagai gerakan moral yang elitis
Pemerintah Orde Baru mengakui pentingnya peran mahasiswa sebagai calon intelektual atau lapisan terdidik yang dibutuhkan untuk mengisi jaringan teknostruktur. Aksi-aksi protes mahasiswa memang tidak disukai pemerintah karena dapat menimbulkan 'aib', tapi juga tidak sepenuhnya dilarang. Mahasiswa boleh menyampaikan kritik dan protes, tapi tetap dalam batas-batas stabilitas keamanan dan pembangunan nasional. Setelah menyampaikan protes, mahasiswa harus kembali ke kampus sebagaimana yang ditunjukkan pada akhir 1960-an dan setelah 15 Januari 1974. Dengan begitu, skenario resi adalah lakon yang harus dipersembahkan mahasiswa dalam pembangunan di mana arenanya adalah kampus universitas. Setelah protes, mahasiswa harus kembali ke 'menara gading' itu.
Kritik mahasiswa pada dasawarsa 1970-an, tertuju pada strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Dengan itu, 'kue ekonomi' lebih didistrubusi pada sedikit orang ketimbang rakyat kebanyakan. Bahkan, orientasi ini menimbulkan kesenjangan sosial dan dominasi modal asing. Protes seperti ini membuat mahasiswa mendapat tuduhan 'ditunggangi' atau 'politik praktis'. Gerakan mahasiswa juga sempat disebut-sebut sebagai “satu-satunya oposisi”.
Menguatnya pemerintah Orde Baru dengan penghasilan migas (minyak dan gas) yang melimpah, menyebabkan legitimasi mahasiswa mulai disingkirkan. Ketika tuntutan gerakan mahasiswa 1978 – tertuang dalam Buku Putih Mahasiswa ITB – tidak lagi mempercayai Soeharto, kebijakan yang keras pun ditempuh. Mahasiswa dituduh merongrong dan hendak menggulingkan pemerintah atau melakukan makar. Sebaliknya, mahasiswa berusaha menyangkal tuduhan itu dan tetap menyakinkan penguasa bahwa protes mereka sebagai gerakan moral. Tapi kebijakan represif dikeluarkan pemerintah selain menangkap dan mengadili para pimpinan DM, juga membekukan dan melarang dewan mahasiswa (DM). Sebagai gantinya, diberlakukan NKK/BKK. Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Sejak pembrangusan 'pemerintahan mahasiswa' (student government) di kampus-kampus perguruan tinggi, politik mahasiswa kehilangan orientasi. Proses reorientasi mulai berlangsung pada dasawarsa 1980-an, di mana beberapa aktivis melakukan otokritik. Sebagian mahasiswa mulai belajar teori-teori pembangunan, Ketergantungan dan marxisme* (teori Marx and teori Kant). Mereka membentuk sejumlah kelompok studi/ diskusi. Mereka juga mulai berhubungan dengan kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang belakangan dikenal dengan singkatan LSM. Dari menara gading, mereka ingin turun ke bawah, atau dari berteori ingin berpraktik. Dari mereka muncul pertanyaan: pembangunan yang dijalankan untuk kepentingan siapa?
Mahasiswa 1980-an mulai menemukan realitas bahwa hasil pembangunan bukan lagi 'menetes ke bawah' (trickle down effect), melainkan telah memiskinkan rakyat. Keprihatinan mereka timbul ketika menemukan proyek-proyek perkebunan inti rakyat (PIR) dan penggusuran penduduk dari lahan garapan di pedesaan maupun penertiban pedagang kecil dan sektor informal di perkotaan yang menghancurkan penghidupan rakyat. Mereka kian prihatin dengan sengketa lahan ketika rakyat Badega (Garut), digusur untuk lahan perkebunan dan rakyat Kedungombo (Jateng), disingkirkan untuk pembangunan waduk. Dari sinilah mahasiswa mengangkat kredo: “rakyat adalah tumbal pembangunan”, “rakyat sebagai korban pembangunan”.
Radikalisasi kritik mahasiswa terhadap pembangunan yang dijalankan pemerintah Orde Baru di pedesaan adalah bagian dari kebijakan intensifikasi di sektor pertanian dan perkebunan, menyusul porak-porandanya neraca pembayaran pemerintah akibat anjloknya harga migas di pasar internasional. Dengan kritik ini pula, mahasiswa pun menemukan sarana praktisnya memulai debutnya dalam kancah politik melalui bentuk komite-komite solidaritas terhadap rakyat yang menjadi korban pembangunan. Protes-protes mereka tidak lagi sendirian, melainkan bersama-sama rakyat yang kepentingannya diperjuangkan mahasiswa
Radikalisasi kritik mahasiswa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, juga berkembang ketika pemerintah mengintensifkan kebijakan industri orientasi ekspor yang mengandalkan upah buruh yang rendah dan jam kerja yang panjang. Sebagian aktivis mahasiswa menemukan rangkaian kasus perselisihan perburuhan yang dimanifestasikan dalam berbagai aksi pemogokan. Mereka pun terlibat untuk membela dan mendukung protes-protes kaum buruh di sejumlah kawasan industri seperti di Solo, Surabaya, Bogor, Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Mereka pun membentuk kelompok-kelompok buruh dan bahkan semacam serikat buruh.
Pada masa Orde Baru, Kebebasan media massa dikekang bahkan sangat dibatasi, media yang mengkritik pemerintahan dalam konotasi negatif akan di cabut perizinannya sebagai contohnya Koran Suara Pembaharuan yang dicabut perizinannya dikarenakan telah mengkritik pemerintah. Dalam hal ini, Salah satu fungsi media massa sebagai wadah penyalur opini publik tidak berjalan secara maksimal, banyak para jurnalis yang menulis kritikanya secara diam-diam bahkan hanya menyimpanya sebagai unek-unek dan sebagai arsip “masa depan” saja.
Hal ini sejalan dengan pergerakan mahasiswa pada masa itu, Mahasiswa pun dibatasi bahkan dilarang menyebarkan atau membuat Opini Publik akan pemerintah, Pemerintah bersikap tegas dan radikal dengan menculik, memenjarakan, dan menghilangkan oknum mahasiswa yang melakukan kritikan terhadap pemerintah. Disini sangat jelas sekali sikap Otoriter pemerintahan saat itu.
PERJALANAN MENUJU REFORMASI
Perubahan orientasi gerakan mahasiswa pun tampak. Jika sebelumnya lakon mahasiswa adalah gerakan moral, maka sejak 1990-an, menjadi gerakan politik yang berbaur bersama rakyat yang mereka perjuangkan kepentingannya. Dengan begitu, bayang-bayang mitos agung gerakan moral yang elitis mulai ditanggalkan. Mahasiswa beralih sebagai 'pejuang rakyat'. Panggung atau arenanya juga telah bergerak ke luar kampus. Kendati begitu, pemerintah juga tidak sepenuhnya melarang apa yang dilakukan mahasiswa di luar kampus, sejauh tidak mengganggu jalannya pembangunan. Pembatasan lakon ini dilakukan dengan menangkap, menahan dan bahkan mengadili mahasiswa.
Perubahan orientasi itu juga mengantarkan sejumlah aktivis mahasiswa ke gelanggang yang lebih luas. Mereka tidak lagi terkucil dalam kampus, sebaliknya membentang arena pertarungan pada basis pengorganisasian rakyat dalam menggalang aksi-aksi protes. Fenomena Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) menunjukkan, bagaimana kritik radikal dan kebutuhan untuk beraliansi dengan kekuatan-kekuatan lain di masyarakat semakin menanggalkan identitas mahasiswanya, bahkan mengubah arena 'perjuangan'nya ke wilayah yang lebih luas. Kritik mereka juga langsung tertuju pada pengekangan kebebasan berpendapat dan berserikat ketika mereka membentuk SMID. Dan lebih tajam lagi, mereka membentuk Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), serta akhirnya mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) – sebuah partai oposisi – melampaui batas-batas toleransi politik Orde Baru. Tapi setelah peristiwa 27 Juli 1996, PRD – bersama SMID dan PPBI – di-PKI-kan dan dilarang, termasuk mengadili para pimpinannya.
Kini, dengan gagalnya PRD merebut kursi parlemen, memudarnya identitas politik mahasiswa (kampus), seiring dengan dinikmatinya kebebasan berserikat atau berorganisasi di luar kampus, bahkan ditunjukkan dengan keberadaan sistem multipartai dan lantas pemilihan presiden secara langsung, bukan saja format politik baru ini memorak-porandakan identitas politik mahasiswa arahan Orde Baru dalam skenario resi, tapi juga yang lebih penting lagi, bagi masa depan, adalah meletakkan kembali gerakan mahasiswa dalam konteks politik kontemporer yang telah berubah.
Lebih mendasar lagi, mahasiswa tidak pernah meletakkan posisinya yang konkret sebagai sebuah lapisan sosial di mana universitas atau perguruan tinggi menjalankan fungsi reproduksi tenaga kerja, selain fungsi reproduksi ide dan teori modernisasi, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
PERGERAKAN MAHASISWA ERA REFORMASI
Sepanjang sejarah gerakan mahasiswa 98 hingga kini, student movement sebagai social agent belum menemukan bentuk atau pun format yang ideal dalam gerakanya, dan masih bersifat lokal. Bahkan dalam banyak kasus dari rakyat. Kondisi ini membuat masyarakat tidak banyak berharap kepada gerakan mahasiswa, bahkan rakyat mulai nmencibir dan melacehkan setiap gerakan mahasiswa kebangsaan. Berbagai tuduhan mengalir kepada mahasiswa saat ini, diantaranya melalui, berbagai ungkapan dengan bahasa sindiran dan ledekan yang menyalakan gerakan mahasiswa serta reformasi yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa.
Kondisi yang sangat menyesakkan dan menyesatkan ini terjadi akibat mahasiswa telah melalaikan tugas dari sejarah gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan dalam suatu bangsa. Gerakan mahasiswa tidak mau melihat kondisi objektif sosial kemasyarakatan serta kondisi sturktural kebangsaan yang menyebabkan terjadinya kondisi sosial yang buruk serta carut marut itu sehingga turut membuat gerakan mahasiswa menjadi tidak efektif lagi dan kehilangan simpati dari masyarakat luas.
Bukan hanya itu saja, gerakan mahasiswa saat ini juga hanya cenderung bergerak dalam persoalan - persoalan Suksesi Kepemimipinan Nasional dan tidak mau berdampingan dengan kekuatan rakyat dan buruh yang senantiasa mengguggat persoalan perut rakyat yang lapar, dari sini terlihat jelas bahwa gerakan mahasiswa yang membawa Jargon - jargon kebangsaan telah pudar dimata masyarakat dikarenakan terlampau elitis sehingga tidak lagi berbasiskan kepada rakyat dengan tidak membawa isu – isu yang populis mengenai persoalan rakyat kecil, karena hanya mau memainkan isu – isu elit politik diparlemen serta dalam persoalan pro dan kontra elit politik yang di kemas serta di usung sebagai bagian dari Grand Design Isu Nasional dengan mengatas – namakan rakyat kecil.
Kenapa gerakan mahasiswa yang menonjol hanya pada persoalan Suksesi Kepemimpinan Nasional ? Apakah dikarnakan isu – isu yang lain tidak lagi populis atau dikarnakan ada muatan politik dari mahasiswa atau karena sebuah ambisi yang terpendam dari kekuatan lain yang sengaja ikut memboncengi kekuatan student movement sebagai salah satu pilar utama gerakan perubahan sosial di Indonesia!!
Beranjak dari pemahaman tentang fenomena gerakan mahasiswa kebangsaan diatas apakah masih relevan posisi mahasiswa sebagai kekuatan politik atau agen of change?
Gerakan mahasiswa sebagai pendorong perubahan dalam konteks kekinian memperlihatkan kecenderungan menurun, karena tidak ada suatu kreasi yang kreatif dari kalangan mahasiswa itu sendiri, dan mereka juga tidak mampu merumuskan gerakan – gerakan yang kreatif. Komunitas gerakan mahasiswa dalam melakukan perubahan sangat tergantung pada kader – kader generasi sekarang, mahasiswa saat ini harus lebih kreatif dan harus berani memposisikan diri dari para seniornya “orang tua” karena akan sangat sulit ketika gerakan mahasiswa kebangsaan berperilaku seperti orang tua yang sudah saatnya mundur dalam percaturan politik di tanah air ini, gerakan mahasiswa juga harus mampu menarik benang merah dari kekuatan elit politik serta berani melakukan pemotongan terhadap generasi yang terdahulu (potong satu generasi).
Gerakan mahasiswaan dan pemuda kebangsaan di Indonesia masih menampakkan perilaku cengeng, manja, yang tidak mau bekerja keras , dan tidak mempunyai inisiatif sendiri, serta bermental seperti tempe. Gerakan dan pola muda motivasi seperti diatas dilakukan hanya untuk memperoleh keuntungan materi dan kekuasaan saja.
Akan tetapi harus disadari pula tak adil pula rasanya mentertawakan terus gerakan mahasiswa itu, andaikan jika kita menilai gerakan mahasiswa kebangsaan itu seperti “tempe” sebaliknya kita menelusuri faktor penyebabnya !! Mengapa hal tersebut dapat terjadi ?!
Dilain pihak ekses yang kerap terjadi dalam gerakan mahasiswa kebangsaan, yakni berupa suatu kekerasan akan selalu dijadikan sebagai ajang pembenaran dan dianggap sebagai tujuan perjuangan pemuda dan mahasiswa kebangsaan, padahal kekerasan bukan merupakan sifat dan karakter kader gerakan kebangsaan yang selalu bergerak dengan membawa isu – isu moral.
ANTARA MEMBANGUN MORAL DAN POLITIK
Sepanjang lintasan sejarah gerakan mahasiswa kebangsaan selalu menjadi sebuah perdebatan dan pertentangan apakah sebagai gerakan moral atau gerakan politik. Hal tersebut sangatlah menarik untuk dibicarakan sebagai suatu wacana yang terus - menerus, bahkan telah menjadi suatu Oase Intelektual yang tiada habis habisnya untuk selalu diperbincangkan oleh para pengamat, akademisi maupun masyarakat pada umumnya. Kadang kala saja student movement tidak dianggap sebagai sebuah gerakan politik meskipun implikasi dan impresi serta Oase politiknya jelas terlihat sarat akan muatan – muatan politik, semisal contoh peran dan keterlibatan gerakan mahasiswa yang mengusung simbol kebangsaan dalam menjatuhkan rezim yang berkuasa dan juga pada persoalan suksesi kepemimpinan nasional yang lain penjatuhan rezim Soekarno, Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sementara itu pihak yang lain lebih memahami gerakan mahasiswa kebangssan sebagai social movement (Gerakan Sosial) dikarnakan karakter gerakannya yang tidak ingin langsung merebut sesuatu kekuasaan atau menjadi agen perubahan dari sebuah kekuatan politik tertentu dalam negara untuk merebut kuasa, lantaran persoalan moralitas dengan isi – isu populis yang dapat menyatukan berbagai kepentingan seluruh komponen bersama atau masyarakat sehingga dapat memperoleh dukungan yang sangat luas, bagi gerakan mahasiswa tersebut.
Gerakan mahasiswa kebangsaan telah berjalan dengan baik ketika mereka berhasil menurunkan rezim tirani otoritarian orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada Mei 98, tak pelak lagi itu merupakan suatu bentuk gerakan yang moral, menggugat apa yang diperjuangkan adalah menyangkut masalah moralitas kepemimpinan Soeharto waktu itu dan moralitas menyangkut perasaan orang banyak, jadi pada waktu itu, gerakan mahasiswa kebangsaan masih berjalan pada landasan gerakan moral atau moral force, niscaya gerakan tersebut akan didukung oleh masyarakat luas.
Dalam keadaan situasi yang sangat kritis seluruh komponen masyarakat Indonesia akan mendukung dan berada dibelakang setiap aksi – aksi mahasiswa. Dukungan masyarakat muncul beragam dan dalam berbagai rupa, ada yang sekedar memberikan dukungan moral saja, atau dengan memberikan sumbangan dalam bentuk finansial (dana). Guna menyuplai dukungan logistik untuk mahasiswa maupun bantuan medis serta upaya – upaya dibidang hukum bagi mahasiswa yang menjadi korban tindak kekerasan refresif dari aparat. Praktis seluruh komponen bangsa mengikuti dengan seksama tahapan – tahapan perjuangan mahasiswa dalam upaya menumbangkan rezim otoriter rezim orde baru yang merengut nyawa empat mahasiswa korban keganasan peluru aparat, yang kemudian membuat jutaan rakyat Indonesia larut dalam suasana duka !
Pada kondisi politik yang tidak stabil dalam negara gerakan mahasiswa akan tampil sebagai gerakan moral terdepan guna mendongkrak hegemoni kekuasaan rezim akan tetapi pada kondisi politik yang stabil dan ada tanda – tanda perbaikan dalam negara, maka gerakan mahasiswa akan menyurut, apalagi dalam kondisi yang ebih maju seperti apa yang dipraktekan oleh masyarakat modern dalam hal demokrasi, maka peran partai politik akan lebih dominan ketimbang peran social control yang dilakukan oleh mahasiswa, oleh karna partai politik yang akan ambil bagian dalam membicarakan ikhwal – ikhwal kekuasaan negara, dan ini bukan berarti gerakan mahasiswa dianggap tidak ada artinya sama sekali akan tetapi memang realitas yang terjadi begitu ada partai politik yang aspiratif, student movement bakal surut biarpun begitu gerakan mahasiswa yang mengusung jargon kebangsaan tetap berarti dan sangat penting memperjuangkan perasaan orang banyak missal dalam perjuangan menegakan HAM, penegakan supemasi hokum. Pemerintah yang bersih (Clear or Good Government) dan lain sebagainya.
Singkat kata, takkala peran partai politik telah aspiratif dan sesuai dengan keinginan masyarakat banyak, maka gerakan mahasiswa bukan lagi merupakan ancaman bagi para penguasa. Gerakan moral mahasiswa dalam hal ini semestinya tidak boleh ada urusanya dengan kekuasaan. Akan tetapi sah – sah saja gerakan mahasiswa membawa kepentingan politik tertentu, namun jika itu yang berlangsung maka hendaklah gerakan mahasiswa tidak lagi mengatasnamakan sebagai gerakan moral, dan bila itu tetap terjadi maka gerakan mahasiswa akan kehilangan simpati yang luas dari masyarakat , kalau gerakan mahasiswa tetap bergerak dalam suasana yang demikian itu akan dilihat sebagai gerakan politik mahasiswa dan bukan lagi gerakan moral mahasiswa yang murni atas dasar keinginan nurani yang terpanggil, karena gerakan moral selalu membawa perasaan orang banyak dan akan memperoleh dukungan yang luas dari masyarakat , berbeda dengan gerakan politik, yang lebih mementingkan pilihan tertentu, dan sesuai dengan kegiatan politik kelompok tertentu pula.
Di alam demokrasi dan keterbukaan ini sah – sah saja jika ada kelompok yang melakukan gerakan politik, aslkan dengan cara – cara yang tidak merusak nilai – nilai dalam demokrasi, sebagai upaya nrgosisasi dan bargaining serta pembentukan opini publik. Namun dalam hal ini janganlah gerakan mahasiswa kebangsaan mengklaim sebagai gerakan moral, dan itu akan berdampak buruk terhadap citra gerakan mahasiswa secara menyeluruh.
Apalagi jika gerakan mahasiswa kebangsaan sempat berafiliasi dengan kekuatan partai dan bersama – sama turun kejalan dengan partai tersebut, maka sangat terlihat jelas adanya ambisi dari mahasiswa dan parpol itu untuk merebut kekuasaan, maka dengan perlahan gerakan mahasiswa akan dikucilkan oleh masyarakat dan akan hilangnya harga diri gerakan mahasiswa karena ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Memang agak sulit untuk membangun gerakan moral ketimbang membangun gerakan politik, tetapi dengan seiring berjalanya waktu maka gerakan mahasiswa akan lebih mantap dan dewasa dalam mengambil keputusan serta pilihan yang benar dimasa yang mendatang karena sejarah akan mencatatkan tinta emas terhadap keberhasilan gerakan mahasiswa.
Pada dasarnya pola fikir ideologisasi (pembelengguan) dan dogmatis itu sudah muncul sebagai respon atas kebekuan pemikiran karena terjebak dalam suatu dagmatisasi empirisme dan rasionalisme. Imanuel Kant Lantas mendobrak kejemuan ini dengan mengkolaborasikan keduanya dan melahirkan suatu pemahaman baru yang disebut dengan filsafat kritisme. Pola pikir Kant ini akhirnya dikembangkan oleh Fitche, Hagle dan sampai pada puncaknya yakni tokoh seperti Karl Marx.
Karl marx dalam pemikiranya banyak terinspirasi oleh kritisme Kant, ditenggarai bahwa pemikiran kritis Marx terjadi sebagai respon atas realitas yang terjadi pada zamanya dimana rakyat pada waktu itu kebanyakan terbelenggung dalam sekat – sekat kelas Marx juga melakukan kritik terhadap masyarakat ekonomis kapitalis yang didasarkan pada pembagian kelas dan dominan aktifitas produksi ekonomi yang pada perkembangan selanjutnya para buruh tersaing dengan hasil produksinya sendiri, sementara itu pemilik modallah yang mengeruk keuntungan dengan berlipat lipat ganda.
Meskipun Imanuel Kant dan Karl Marx bukan pemikir pembongkar kontruktif tentang paradigm kririsme mengenai ideologi namun keberadaan paradigma kristime itu tidak terlepas dari polarisasi pemikiran kedua tokoh tersebut, karena jika ditelusuri lebih jauh akar pemongkaran ideologi yang konstruktif, itu merupakan kontribusi pemikiran kedua tokoh ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembongkaran ideologi kedalam paradigma yang kritis sebenarnya anak dan dialektika pemikiran Imanuel Kant dan Karl Marx.
Teori ini dalam kurun waktu tertentu betul – betul menjadi bahan diskusi yang menarik bagi generasi kritis mahasiswa karena maksud dari teori tersebut dalah bagaimana membebaskan masyarakat dari belenggung serta manipualsi para teknorat modern dan pemimpin yang jalim. Secara mendalam generasi muda kebangsaan saat ini sangat merasa muak dengan kebudayaan kapitalis yang hanya membanggakan pembangunan fisik saja namun tidak dapat mengisi kekosongan jiwa yang manusiawi. Dalam kekosongan itulah teori ini menjadi jalan alternative karena dianggap mampu mengartikulasi ketidak puasan terhadap dampak ilmu pengetahuan modern yang menurut mereka menghilangkan identitas diri sebagai manusia.
Meskipun embrio pemikiran ini berasal dari Marx, mahasiswa tidak boleh begitu saja membebek kepada Marx. Bahkan harus memberikan kritik social yang tajam Terhadap beberapa kelemahan teori Marx. Karena itu dituntut sebuah kemandirian intelektual dalam melakukan analisa – analisa Marx yang lebih bersifat dogmatis ketimbang ilmu ketajaman dalam melakukan analisa – analisa. Hal tersebut harus dilakukan seksama dalam masyarakat oleh gerakan mahasiswa kebangsaan mengingatisi makna yang tersiat dalam teori tersebut adalah perjuangan terhadap pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan tirani dalam masyarakat yang dilakukan oleh kelompok – kelompok kapitalisme dan pengusaha.
Namun dalam kenyataan Ideologi secara tidak sadar akan masuk menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Ketika manusia itu di nina bobokan oleh kamuflase – kamuflase untuk itulah pembongkaran – pembongkaran ideologin harus dilakukan dengan cara – cara berfikir secara kritis terhadap dogma – dogma agama.
Protes kritisme dan interprestasi atsa ajaran – ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk menghancurkan agama, namun justru sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi teratas agar tidak digunakan oleh kepentingan – kepentingan politik tetentu untuk tujuan politik tertentu pula.
Pers Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi atau revolusi Mei 1998 yang mencapai momen bersejarah dengan pengunduran diri presiden Soeharto, setelah berkuasa selama 32 tahun. Meskipun pers bukanlah pelopor dari gerakan revolusi itu, namun pers telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam peristiwa tersebut dengan penyajian berita-berita yang kritis sehingga melemahkan legitimasi rezim Orde Baru yang berkuasa pada waktu itu. Wacana tentang peranan pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998 dapat digeneralisasikan bahwa wacana mengenai kontribusi signifikan pers dalam memicu perubahan masyarakat seakan mengikuti teori klasik komunukasi massa yang telah populer sejak lama, yaitu teori serba media. Diasumsikan bahwa media massa (dalam hal ini pers) mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi masyarakat, bukan saja dalam membentuk opini dan sikap tetapi juga dalam memicu terjadinya gerakan sosial.
BAB 3
Kesimpulan
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
• Syamsudin Azis . Kaum Muda Menatap Masa Depan Indonesia . Jakarta Rakyat Merdeka Group Book 2008
• Id. Wikipedia .Org
Pendahuluan
Gerakan Mahasiswa merupakan fenomena gerakan politik kelas menengah yang terjadi di berbagai negara tak terkecuali indonesia. Digolongkan kedalam kelas menengah karena secara ekonomi mahasiswa berasal dari keluarga yang mampu setidaknya mampu membayar kuliah . Sedangkan melalui proses pendidikan mahasiswa memperoleh kesadaran politik untuk memahami apa yang baik dan buruk berdasarkan norma – norma bermasyarakat dan bernegara .
Namun sebelumnya apakah yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa ? Apa saja ruang lingkupnya ? mengajukan pertanyaan seperti menjadi penting , karena di kalangan mahsiswa sendiri masih terjadi perbedaan – perbedaan pemahaman yang mengakibatkan benturan antar kelompok dalam pilihan pola gerakan. Menurut Philip G Albach gerakan mahasiswa pecah apabila ketidakpuasan tersebut disusun berdasarkan ideologi sembari memberikan alternatif penyelesaiannya.
Jika kita menggunakan perbandingan politik , gerakan mahasiswa memang memiliki pola gerakan yang berbeda – beda antara lain kondisi struktur politik , kultur politik dan geo politik yang berbeda . Meski demikian , meanstream gerakan mahasiswa adalah gerakan moral yang umumnya terkonsolidasi karena rezim pemerintahan otoriter atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan norma – norma masyarakat umum bahkan isu tata hubungan internasional
Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Opini bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".
BAB 2
Karakteristik Mahasiswa
Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. Shill menyebukan ada lima fungsi kaum intelektual yakni mencipta dan penyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Sementara itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi.
Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik,Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda.
Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Sebagai Gerakan Moral
Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial yang didefinisikan Nan Lin (1992) Kedua , sebagai upaya kolektif untuk memajukan atau melawan perubahan dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Rudolf Heberle (1968)Ketiga , menyebutkan bahwa gerakan sosial merujuk pada berbagai ragam usaha kolektif untuk mengadakan perubahan tertentu pada lembaga-lembaga sosial atau menciptakan orde baru. Bahkan Eric Hoffer (1988) Keempat ,menilai bahwa gerakan sosial bertujuan untuk mengadakan perubahan.
Teori awal menyebutkan, sebuah gerakan muncul ketika masyarakat menghadapi hambatan struktural karena perubahan sosial yang cepat seperti disebutkan Smelser (1962). Teori kemacetan ini berpendapat bahwa “pengaturan lagi struktural dalam masyarakat seperti urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan hilangnya kontrol sosial dan meningkatkan “gelombang menuju perilaku antisosial”. Kemacetan sistemik ini dikatakan menjadi penyebab meningkatnya aksi mogok, kekerasan kolektif dan gerakan sosial dan mahasiswa Pakar kontemporer tentang gerakan sosial mengkritik teori-teori kemacetan dengan alasan empirik dan teoritis.
Denny JA juga menyatakan adanya tiga kondisi lahirnya gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa.Kelima , Pertama, gerakan sosial dilahirkan oleh kondidi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter.
Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluasnya gerakan sosial.
Ketiga, gerakan sosial semata-masa masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan.
Gerakan mahasiswa mengaktualisikan potensinya melalui sikap-sikap dan pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal. Ciri khas gerakan mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya.
Gerakan moral ini diakui pula oleh Arief Budiman yang menilai sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya mereka sendiri. Mahasiswa, tulis Arief Budiman, sering menenkankan peranannya sebagai “kekuatan moral” dan bukannya “kekuatan politik”.Keenam , Aksi protes yang dialncarkan mahassiwa berupa demonstrasi di jalan dinilai juga sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis.
Arief Budiman juga menambahkan, konsep gerakan moral bagi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam sistem politik.
Ketujuh ,Setelah pendobrakan dillakukan maka adalah tugas kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam hal ini partai-partai atau organisasi politik yang lebih mapan yang melakukan pembenahan.
Sependapat dengan Arief Budiman, Arbi Sanit menyatakan komitmen mahasiswa yang masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan keseharian mereka dalam mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan yang digeluti adalah sadar politik mahasiswa. Karena itu politik mahasiswa digolongkan sebagai kekuatan moral Kedelapan , Kemurnian sikap dan tingkahlaku ,mahassiwa menyebabkan mereka dikategorikan sebagai kekuatan moral, yang dengan sendirinya memerankan politik moral.
Gerakan Massa
Namun seperti halnya gerakan sosial umumnya senantiasa melibatkan pengorganisasian. Melalui organisasi inilah gerakan mahasiswa melakukan pula aksi massa, demonstrasi dan sejumlah aksi lainnya untuk mendorong kepentingannya. Dengan kata lain gerakan massa turun ke jalan atau aksi pendudukan gedung-gedung publik merupakan salah satu jalan untuk mendorong tuntutan mereka.
Dalam mewujudkan fungsi sebagai kaum intelektual itu mahasiswa memainkan peran sosial mulai dari pemikir, pemimpin dan pelaksana. Sebagai pemikir mahasiswa mencoba menyusun dan menawarkan gagasan tentang arah dan pengembangan masyarakat. Peran kepemimpinan dilakukan dengan aktivitas dalam mendorong dan menggerakan masyarakat. Seadngkan keterlibatan mereka dalam aksi sosial, budaya dan politik di sepanjarang sejarah merupakan perwujudkan dari peran pelaksanaan tersebut.
Upaya mahasiswa membangun organisasi sebagai alat bagi pelaksanaan fungsi intelektual dan peran tidak lepas dari kekhasannya. Motif mahasiswa membangun organisasi adalah untuk membangun dan memperlihatkan identitas mereka didalam merealisaskan peran-peran dalam masyarakatnya. Bahkan mereka membangun organisasi karena yakin akan kemampuan lembaga masyarakat tersebut sebagai alat perjuangan.
Bentuk-bentuk gerakan mahasiswa mulai dari aktivias intelektual yang kritis melalui seminar, diskusi dan penelitian merupakan bentuk aktualiasi .
Selain kegiatan ilmiah, gerakan mahasiswa juga menyuarakan suara moralnya dalam bentuk petisi, pernyataan dan suara protes.
Bentuk-bentuk konservatif ini kemudian berkembang menjadi radikalisme yang dimulai dari aksi demonstrrai dalam kampus. Secara perlahan karena perkembangan di lapangan dan keberanian mahasiswa maka aksi protes dilanjutkan dengan turun ke jalan-jalan.
Bentuk lain dari aktualisasi peran gerakan mahasiswa ini dilakukan dengan menurunkan massa mahasiwa dalam jumlah besar dan serentak. Kemudian mahasiswa ini dalam mendorong desakan reformasi politiknya melakukan kependudukan atas bangunan pemerintahan dan menyerukan pemboikotan. Untuk mencapai cita-cita moral politik mahasiwa ini maka muncul berbagai bentuk aksi seperti umumnya terjadi dalam, gerakan spesial. Arbi menyatakan, demonstarsi yang dilakukan mahasiwa fungsinya sebagai penguat tuntutan bukan sebagai kekuatan pendobrak penguasa. Strategi demonstasi diluar kampus merupakan bagian dari upaya membangkitkan semangat massa mahasiswa.
Peran mahasiswa sebagai gerakan moral dan gerakan massa untuk mendorong reformasi politik adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual. Berbeda dengan gerakan revolusi, gerakan reformasi seperti dikatakan,Nanlin, berbeda dengan gerakan revolusi yang mengejar perubahan struktural yang fundamental. Gerakan reformasi berusaha memdofikasi hubungan struktural tanpa mengancam eksistensi insitusi.
Menurut Arbi ada dua tahap dalam reformasi politik. Pertama, tahap transisi yang merupakan proses peralihan dari proses krisis politik ke proses normal kehidupan politik. Di tahap transisi, pemicu proses reformasi akan mengawali aktualisasinya. Ada lima kemungkinan peristiwa politik yang berpotensi menjadi pemicu yang akan mengawali berlangsungnya proses reformasi politik yaitu kudeta, kesadaran penguasa, tekanan publik opini kepada penguasa, presiden meninggal dan people’s power yang aktif dan kuat.
Tahap kedua, reformasi normal dimana reformasi dilakukan dalam kerangka sistem politik yang ada. Reformasi normal ini dilakukan melalui reformasi suprastruktur dan infrastruktur.
Arbi Santi menyebutkan, reformasi politik mahasiwa terfokus kepada suksesi kepemimpinan, penegakan pemerintahan yang kuat-efektif sehingga produktif, penegakan pemerintahan yang bersih, penetapan kebijakan puiblik yang adil dan tepat dan demokratisasi politik.
PERGERAKAN MAHASISWA ERA ORDE BARU
PROTES-protes heroik mahasiswa anti-komunis di bawah Orde Baru, kerap disebut gerakan mahasiswa. Aliansi segitiga tentara, teknokrat dan mahasiswa mengawali demonstrasi turun ke jalan untuk menumbangkan rezim Soekarno yang sedang runtuh: tiga tuntutan rakyat (tritura) pada 1966. Elite militer membentuk pemerintahan Orde Baru dan menggelar pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Partai-partai pun dikendalikan oleh rezim yang berkuasa untuk mendukung pembangunan. Rakyat kemudian diubah menjadi 'massa mengambang' (floating mass) yang tidak boleh menghalangi pembangunan.
Setelah itu, mahasiswa kembali ke kampus (back to campus). Proses demo menyuarakan protes dan kisah kepahlawanan menumbangkan Soekarno yang didaur ulang, serta kemudian kembali ke bangku kuliah tanpa merasa punya kepentingan menikmati kursi kekuasan politik, maka mitos peran mahasiswa pun dibaptis sebagai “gerakan moral”. Identitas politiknya adalah kaum intelektual yang melakukan kritik terhadap pemerintah, tanpa ambisi berkuasa dan bebas kepentingan politik. Inilah lakon mahasiswa sebagai resi yang terus didaur ulang sebagai gerakan moral yang elitis
Pemerintah Orde Baru mengakui pentingnya peran mahasiswa sebagai calon intelektual atau lapisan terdidik yang dibutuhkan untuk mengisi jaringan teknostruktur. Aksi-aksi protes mahasiswa memang tidak disukai pemerintah karena dapat menimbulkan 'aib', tapi juga tidak sepenuhnya dilarang. Mahasiswa boleh menyampaikan kritik dan protes, tapi tetap dalam batas-batas stabilitas keamanan dan pembangunan nasional. Setelah menyampaikan protes, mahasiswa harus kembali ke kampus sebagaimana yang ditunjukkan pada akhir 1960-an dan setelah 15 Januari 1974. Dengan begitu, skenario resi adalah lakon yang harus dipersembahkan mahasiswa dalam pembangunan di mana arenanya adalah kampus universitas. Setelah protes, mahasiswa harus kembali ke 'menara gading' itu.
Kritik mahasiswa pada dasawarsa 1970-an, tertuju pada strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Dengan itu, 'kue ekonomi' lebih didistrubusi pada sedikit orang ketimbang rakyat kebanyakan. Bahkan, orientasi ini menimbulkan kesenjangan sosial dan dominasi modal asing. Protes seperti ini membuat mahasiswa mendapat tuduhan 'ditunggangi' atau 'politik praktis'. Gerakan mahasiswa juga sempat disebut-sebut sebagai “satu-satunya oposisi”.
Menguatnya pemerintah Orde Baru dengan penghasilan migas (minyak dan gas) yang melimpah, menyebabkan legitimasi mahasiswa mulai disingkirkan. Ketika tuntutan gerakan mahasiswa 1978 – tertuang dalam Buku Putih Mahasiswa ITB – tidak lagi mempercayai Soeharto, kebijakan yang keras pun ditempuh. Mahasiswa dituduh merongrong dan hendak menggulingkan pemerintah atau melakukan makar. Sebaliknya, mahasiswa berusaha menyangkal tuduhan itu dan tetap menyakinkan penguasa bahwa protes mereka sebagai gerakan moral. Tapi kebijakan represif dikeluarkan pemerintah selain menangkap dan mengadili para pimpinan DM, juga membekukan dan melarang dewan mahasiswa (DM). Sebagai gantinya, diberlakukan NKK/BKK. Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Sejak pembrangusan 'pemerintahan mahasiswa' (student government) di kampus-kampus perguruan tinggi, politik mahasiswa kehilangan orientasi. Proses reorientasi mulai berlangsung pada dasawarsa 1980-an, di mana beberapa aktivis melakukan otokritik. Sebagian mahasiswa mulai belajar teori-teori pembangunan, Ketergantungan dan marxisme* (teori Marx and teori Kant). Mereka membentuk sejumlah kelompok studi/ diskusi. Mereka juga mulai berhubungan dengan kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang belakangan dikenal dengan singkatan LSM. Dari menara gading, mereka ingin turun ke bawah, atau dari berteori ingin berpraktik. Dari mereka muncul pertanyaan: pembangunan yang dijalankan untuk kepentingan siapa?
Mahasiswa 1980-an mulai menemukan realitas bahwa hasil pembangunan bukan lagi 'menetes ke bawah' (trickle down effect), melainkan telah memiskinkan rakyat. Keprihatinan mereka timbul ketika menemukan proyek-proyek perkebunan inti rakyat (PIR) dan penggusuran penduduk dari lahan garapan di pedesaan maupun penertiban pedagang kecil dan sektor informal di perkotaan yang menghancurkan penghidupan rakyat. Mereka kian prihatin dengan sengketa lahan ketika rakyat Badega (Garut), digusur untuk lahan perkebunan dan rakyat Kedungombo (Jateng), disingkirkan untuk pembangunan waduk. Dari sinilah mahasiswa mengangkat kredo: “rakyat adalah tumbal pembangunan”, “rakyat sebagai korban pembangunan”.
Radikalisasi kritik mahasiswa terhadap pembangunan yang dijalankan pemerintah Orde Baru di pedesaan adalah bagian dari kebijakan intensifikasi di sektor pertanian dan perkebunan, menyusul porak-porandanya neraca pembayaran pemerintah akibat anjloknya harga migas di pasar internasional. Dengan kritik ini pula, mahasiswa pun menemukan sarana praktisnya memulai debutnya dalam kancah politik melalui bentuk komite-komite solidaritas terhadap rakyat yang menjadi korban pembangunan. Protes-protes mereka tidak lagi sendirian, melainkan bersama-sama rakyat yang kepentingannya diperjuangkan mahasiswa
Radikalisasi kritik mahasiswa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, juga berkembang ketika pemerintah mengintensifkan kebijakan industri orientasi ekspor yang mengandalkan upah buruh yang rendah dan jam kerja yang panjang. Sebagian aktivis mahasiswa menemukan rangkaian kasus perselisihan perburuhan yang dimanifestasikan dalam berbagai aksi pemogokan. Mereka pun terlibat untuk membela dan mendukung protes-protes kaum buruh di sejumlah kawasan industri seperti di Solo, Surabaya, Bogor, Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Mereka pun membentuk kelompok-kelompok buruh dan bahkan semacam serikat buruh.
Pada masa Orde Baru, Kebebasan media massa dikekang bahkan sangat dibatasi, media yang mengkritik pemerintahan dalam konotasi negatif akan di cabut perizinannya sebagai contohnya Koran Suara Pembaharuan yang dicabut perizinannya dikarenakan telah mengkritik pemerintah. Dalam hal ini, Salah satu fungsi media massa sebagai wadah penyalur opini publik tidak berjalan secara maksimal, banyak para jurnalis yang menulis kritikanya secara diam-diam bahkan hanya menyimpanya sebagai unek-unek dan sebagai arsip “masa depan” saja.
Hal ini sejalan dengan pergerakan mahasiswa pada masa itu, Mahasiswa pun dibatasi bahkan dilarang menyebarkan atau membuat Opini Publik akan pemerintah, Pemerintah bersikap tegas dan radikal dengan menculik, memenjarakan, dan menghilangkan oknum mahasiswa yang melakukan kritikan terhadap pemerintah. Disini sangat jelas sekali sikap Otoriter pemerintahan saat itu.
PERJALANAN MENUJU REFORMASI
Perubahan orientasi gerakan mahasiswa pun tampak. Jika sebelumnya lakon mahasiswa adalah gerakan moral, maka sejak 1990-an, menjadi gerakan politik yang berbaur bersama rakyat yang mereka perjuangkan kepentingannya. Dengan begitu, bayang-bayang mitos agung gerakan moral yang elitis mulai ditanggalkan. Mahasiswa beralih sebagai 'pejuang rakyat'. Panggung atau arenanya juga telah bergerak ke luar kampus. Kendati begitu, pemerintah juga tidak sepenuhnya melarang apa yang dilakukan mahasiswa di luar kampus, sejauh tidak mengganggu jalannya pembangunan. Pembatasan lakon ini dilakukan dengan menangkap, menahan dan bahkan mengadili mahasiswa.
Perubahan orientasi itu juga mengantarkan sejumlah aktivis mahasiswa ke gelanggang yang lebih luas. Mereka tidak lagi terkucil dalam kampus, sebaliknya membentang arena pertarungan pada basis pengorganisasian rakyat dalam menggalang aksi-aksi protes. Fenomena Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) menunjukkan, bagaimana kritik radikal dan kebutuhan untuk beraliansi dengan kekuatan-kekuatan lain di masyarakat semakin menanggalkan identitas mahasiswanya, bahkan mengubah arena 'perjuangan'nya ke wilayah yang lebih luas. Kritik mereka juga langsung tertuju pada pengekangan kebebasan berpendapat dan berserikat ketika mereka membentuk SMID. Dan lebih tajam lagi, mereka membentuk Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), serta akhirnya mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) – sebuah partai oposisi – melampaui batas-batas toleransi politik Orde Baru. Tapi setelah peristiwa 27 Juli 1996, PRD – bersama SMID dan PPBI – di-PKI-kan dan dilarang, termasuk mengadili para pimpinannya.
Kini, dengan gagalnya PRD merebut kursi parlemen, memudarnya identitas politik mahasiswa (kampus), seiring dengan dinikmatinya kebebasan berserikat atau berorganisasi di luar kampus, bahkan ditunjukkan dengan keberadaan sistem multipartai dan lantas pemilihan presiden secara langsung, bukan saja format politik baru ini memorak-porandakan identitas politik mahasiswa arahan Orde Baru dalam skenario resi, tapi juga yang lebih penting lagi, bagi masa depan, adalah meletakkan kembali gerakan mahasiswa dalam konteks politik kontemporer yang telah berubah.
Lebih mendasar lagi, mahasiswa tidak pernah meletakkan posisinya yang konkret sebagai sebuah lapisan sosial di mana universitas atau perguruan tinggi menjalankan fungsi reproduksi tenaga kerja, selain fungsi reproduksi ide dan teori modernisasi, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
PERGERAKAN MAHASISWA ERA REFORMASI
Sepanjang sejarah gerakan mahasiswa 98 hingga kini, student movement sebagai social agent belum menemukan bentuk atau pun format yang ideal dalam gerakanya, dan masih bersifat lokal. Bahkan dalam banyak kasus dari rakyat. Kondisi ini membuat masyarakat tidak banyak berharap kepada gerakan mahasiswa, bahkan rakyat mulai nmencibir dan melacehkan setiap gerakan mahasiswa kebangsaan. Berbagai tuduhan mengalir kepada mahasiswa saat ini, diantaranya melalui, berbagai ungkapan dengan bahasa sindiran dan ledekan yang menyalakan gerakan mahasiswa serta reformasi yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa.
Kondisi yang sangat menyesakkan dan menyesatkan ini terjadi akibat mahasiswa telah melalaikan tugas dari sejarah gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan dalam suatu bangsa. Gerakan mahasiswa tidak mau melihat kondisi objektif sosial kemasyarakatan serta kondisi sturktural kebangsaan yang menyebabkan terjadinya kondisi sosial yang buruk serta carut marut itu sehingga turut membuat gerakan mahasiswa menjadi tidak efektif lagi dan kehilangan simpati dari masyarakat luas.
Bukan hanya itu saja, gerakan mahasiswa saat ini juga hanya cenderung bergerak dalam persoalan - persoalan Suksesi Kepemimipinan Nasional dan tidak mau berdampingan dengan kekuatan rakyat dan buruh yang senantiasa mengguggat persoalan perut rakyat yang lapar, dari sini terlihat jelas bahwa gerakan mahasiswa yang membawa Jargon - jargon kebangsaan telah pudar dimata masyarakat dikarenakan terlampau elitis sehingga tidak lagi berbasiskan kepada rakyat dengan tidak membawa isu – isu yang populis mengenai persoalan rakyat kecil, karena hanya mau memainkan isu – isu elit politik diparlemen serta dalam persoalan pro dan kontra elit politik yang di kemas serta di usung sebagai bagian dari Grand Design Isu Nasional dengan mengatas – namakan rakyat kecil.
Kenapa gerakan mahasiswa yang menonjol hanya pada persoalan Suksesi Kepemimpinan Nasional ? Apakah dikarnakan isu – isu yang lain tidak lagi populis atau dikarnakan ada muatan politik dari mahasiswa atau karena sebuah ambisi yang terpendam dari kekuatan lain yang sengaja ikut memboncengi kekuatan student movement sebagai salah satu pilar utama gerakan perubahan sosial di Indonesia!!
Beranjak dari pemahaman tentang fenomena gerakan mahasiswa kebangsaan diatas apakah masih relevan posisi mahasiswa sebagai kekuatan politik atau agen of change?
Gerakan mahasiswa sebagai pendorong perubahan dalam konteks kekinian memperlihatkan kecenderungan menurun, karena tidak ada suatu kreasi yang kreatif dari kalangan mahasiswa itu sendiri, dan mereka juga tidak mampu merumuskan gerakan – gerakan yang kreatif. Komunitas gerakan mahasiswa dalam melakukan perubahan sangat tergantung pada kader – kader generasi sekarang, mahasiswa saat ini harus lebih kreatif dan harus berani memposisikan diri dari para seniornya “orang tua” karena akan sangat sulit ketika gerakan mahasiswa kebangsaan berperilaku seperti orang tua yang sudah saatnya mundur dalam percaturan politik di tanah air ini, gerakan mahasiswa juga harus mampu menarik benang merah dari kekuatan elit politik serta berani melakukan pemotongan terhadap generasi yang terdahulu (potong satu generasi).
Gerakan mahasiswaan dan pemuda kebangsaan di Indonesia masih menampakkan perilaku cengeng, manja, yang tidak mau bekerja keras , dan tidak mempunyai inisiatif sendiri, serta bermental seperti tempe. Gerakan dan pola muda motivasi seperti diatas dilakukan hanya untuk memperoleh keuntungan materi dan kekuasaan saja.
Akan tetapi harus disadari pula tak adil pula rasanya mentertawakan terus gerakan mahasiswa itu, andaikan jika kita menilai gerakan mahasiswa kebangsaan itu seperti “tempe” sebaliknya kita menelusuri faktor penyebabnya !! Mengapa hal tersebut dapat terjadi ?!
Dilain pihak ekses yang kerap terjadi dalam gerakan mahasiswa kebangsaan, yakni berupa suatu kekerasan akan selalu dijadikan sebagai ajang pembenaran dan dianggap sebagai tujuan perjuangan pemuda dan mahasiswa kebangsaan, padahal kekerasan bukan merupakan sifat dan karakter kader gerakan kebangsaan yang selalu bergerak dengan membawa isu – isu moral.
ANTARA MEMBANGUN MORAL DAN POLITIK
Sepanjang lintasan sejarah gerakan mahasiswa kebangsaan selalu menjadi sebuah perdebatan dan pertentangan apakah sebagai gerakan moral atau gerakan politik. Hal tersebut sangatlah menarik untuk dibicarakan sebagai suatu wacana yang terus - menerus, bahkan telah menjadi suatu Oase Intelektual yang tiada habis habisnya untuk selalu diperbincangkan oleh para pengamat, akademisi maupun masyarakat pada umumnya. Kadang kala saja student movement tidak dianggap sebagai sebuah gerakan politik meskipun implikasi dan impresi serta Oase politiknya jelas terlihat sarat akan muatan – muatan politik, semisal contoh peran dan keterlibatan gerakan mahasiswa yang mengusung simbol kebangsaan dalam menjatuhkan rezim yang berkuasa dan juga pada persoalan suksesi kepemimpinan nasional yang lain penjatuhan rezim Soekarno, Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sementara itu pihak yang lain lebih memahami gerakan mahasiswa kebangssan sebagai social movement (Gerakan Sosial) dikarnakan karakter gerakannya yang tidak ingin langsung merebut sesuatu kekuasaan atau menjadi agen perubahan dari sebuah kekuatan politik tertentu dalam negara untuk merebut kuasa, lantaran persoalan moralitas dengan isi – isu populis yang dapat menyatukan berbagai kepentingan seluruh komponen bersama atau masyarakat sehingga dapat memperoleh dukungan yang sangat luas, bagi gerakan mahasiswa tersebut.
Gerakan mahasiswa kebangsaan telah berjalan dengan baik ketika mereka berhasil menurunkan rezim tirani otoritarian orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada Mei 98, tak pelak lagi itu merupakan suatu bentuk gerakan yang moral, menggugat apa yang diperjuangkan adalah menyangkut masalah moralitas kepemimpinan Soeharto waktu itu dan moralitas menyangkut perasaan orang banyak, jadi pada waktu itu, gerakan mahasiswa kebangsaan masih berjalan pada landasan gerakan moral atau moral force, niscaya gerakan tersebut akan didukung oleh masyarakat luas.
Dalam keadaan situasi yang sangat kritis seluruh komponen masyarakat Indonesia akan mendukung dan berada dibelakang setiap aksi – aksi mahasiswa. Dukungan masyarakat muncul beragam dan dalam berbagai rupa, ada yang sekedar memberikan dukungan moral saja, atau dengan memberikan sumbangan dalam bentuk finansial (dana). Guna menyuplai dukungan logistik untuk mahasiswa maupun bantuan medis serta upaya – upaya dibidang hukum bagi mahasiswa yang menjadi korban tindak kekerasan refresif dari aparat. Praktis seluruh komponen bangsa mengikuti dengan seksama tahapan – tahapan perjuangan mahasiswa dalam upaya menumbangkan rezim otoriter rezim orde baru yang merengut nyawa empat mahasiswa korban keganasan peluru aparat, yang kemudian membuat jutaan rakyat Indonesia larut dalam suasana duka !
Pada kondisi politik yang tidak stabil dalam negara gerakan mahasiswa akan tampil sebagai gerakan moral terdepan guna mendongkrak hegemoni kekuasaan rezim akan tetapi pada kondisi politik yang stabil dan ada tanda – tanda perbaikan dalam negara, maka gerakan mahasiswa akan menyurut, apalagi dalam kondisi yang ebih maju seperti apa yang dipraktekan oleh masyarakat modern dalam hal demokrasi, maka peran partai politik akan lebih dominan ketimbang peran social control yang dilakukan oleh mahasiswa, oleh karna partai politik yang akan ambil bagian dalam membicarakan ikhwal – ikhwal kekuasaan negara, dan ini bukan berarti gerakan mahasiswa dianggap tidak ada artinya sama sekali akan tetapi memang realitas yang terjadi begitu ada partai politik yang aspiratif, student movement bakal surut biarpun begitu gerakan mahasiswa yang mengusung jargon kebangsaan tetap berarti dan sangat penting memperjuangkan perasaan orang banyak missal dalam perjuangan menegakan HAM, penegakan supemasi hokum. Pemerintah yang bersih (Clear or Good Government) dan lain sebagainya.
Singkat kata, takkala peran partai politik telah aspiratif dan sesuai dengan keinginan masyarakat banyak, maka gerakan mahasiswa bukan lagi merupakan ancaman bagi para penguasa. Gerakan moral mahasiswa dalam hal ini semestinya tidak boleh ada urusanya dengan kekuasaan. Akan tetapi sah – sah saja gerakan mahasiswa membawa kepentingan politik tertentu, namun jika itu yang berlangsung maka hendaklah gerakan mahasiswa tidak lagi mengatasnamakan sebagai gerakan moral, dan bila itu tetap terjadi maka gerakan mahasiswa akan kehilangan simpati yang luas dari masyarakat , kalau gerakan mahasiswa tetap bergerak dalam suasana yang demikian itu akan dilihat sebagai gerakan politik mahasiswa dan bukan lagi gerakan moral mahasiswa yang murni atas dasar keinginan nurani yang terpanggil, karena gerakan moral selalu membawa perasaan orang banyak dan akan memperoleh dukungan yang luas dari masyarakat , berbeda dengan gerakan politik, yang lebih mementingkan pilihan tertentu, dan sesuai dengan kegiatan politik kelompok tertentu pula.
Di alam demokrasi dan keterbukaan ini sah – sah saja jika ada kelompok yang melakukan gerakan politik, aslkan dengan cara – cara yang tidak merusak nilai – nilai dalam demokrasi, sebagai upaya nrgosisasi dan bargaining serta pembentukan opini publik. Namun dalam hal ini janganlah gerakan mahasiswa kebangsaan mengklaim sebagai gerakan moral, dan itu akan berdampak buruk terhadap citra gerakan mahasiswa secara menyeluruh.
Apalagi jika gerakan mahasiswa kebangsaan sempat berafiliasi dengan kekuatan partai dan bersama – sama turun kejalan dengan partai tersebut, maka sangat terlihat jelas adanya ambisi dari mahasiswa dan parpol itu untuk merebut kekuasaan, maka dengan perlahan gerakan mahasiswa akan dikucilkan oleh masyarakat dan akan hilangnya harga diri gerakan mahasiswa karena ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Memang agak sulit untuk membangun gerakan moral ketimbang membangun gerakan politik, tetapi dengan seiring berjalanya waktu maka gerakan mahasiswa akan lebih mantap dan dewasa dalam mengambil keputusan serta pilihan yang benar dimasa yang mendatang karena sejarah akan mencatatkan tinta emas terhadap keberhasilan gerakan mahasiswa.
Pada dasarnya pola fikir ideologisasi (pembelengguan) dan dogmatis itu sudah muncul sebagai respon atas kebekuan pemikiran karena terjebak dalam suatu dagmatisasi empirisme dan rasionalisme. Imanuel Kant Lantas mendobrak kejemuan ini dengan mengkolaborasikan keduanya dan melahirkan suatu pemahaman baru yang disebut dengan filsafat kritisme. Pola pikir Kant ini akhirnya dikembangkan oleh Fitche, Hagle dan sampai pada puncaknya yakni tokoh seperti Karl Marx.
Karl marx dalam pemikiranya banyak terinspirasi oleh kritisme Kant, ditenggarai bahwa pemikiran kritis Marx terjadi sebagai respon atas realitas yang terjadi pada zamanya dimana rakyat pada waktu itu kebanyakan terbelenggung dalam sekat – sekat kelas Marx juga melakukan kritik terhadap masyarakat ekonomis kapitalis yang didasarkan pada pembagian kelas dan dominan aktifitas produksi ekonomi yang pada perkembangan selanjutnya para buruh tersaing dengan hasil produksinya sendiri, sementara itu pemilik modallah yang mengeruk keuntungan dengan berlipat lipat ganda.
Meskipun Imanuel Kant dan Karl Marx bukan pemikir pembongkar kontruktif tentang paradigm kririsme mengenai ideologi namun keberadaan paradigma kristime itu tidak terlepas dari polarisasi pemikiran kedua tokoh tersebut, karena jika ditelusuri lebih jauh akar pemongkaran ideologi yang konstruktif, itu merupakan kontribusi pemikiran kedua tokoh ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembongkaran ideologi kedalam paradigma yang kritis sebenarnya anak dan dialektika pemikiran Imanuel Kant dan Karl Marx.
Teori ini dalam kurun waktu tertentu betul – betul menjadi bahan diskusi yang menarik bagi generasi kritis mahasiswa karena maksud dari teori tersebut dalah bagaimana membebaskan masyarakat dari belenggung serta manipualsi para teknorat modern dan pemimpin yang jalim. Secara mendalam generasi muda kebangsaan saat ini sangat merasa muak dengan kebudayaan kapitalis yang hanya membanggakan pembangunan fisik saja namun tidak dapat mengisi kekosongan jiwa yang manusiawi. Dalam kekosongan itulah teori ini menjadi jalan alternative karena dianggap mampu mengartikulasi ketidak puasan terhadap dampak ilmu pengetahuan modern yang menurut mereka menghilangkan identitas diri sebagai manusia.
Meskipun embrio pemikiran ini berasal dari Marx, mahasiswa tidak boleh begitu saja membebek kepada Marx. Bahkan harus memberikan kritik social yang tajam Terhadap beberapa kelemahan teori Marx. Karena itu dituntut sebuah kemandirian intelektual dalam melakukan analisa – analisa Marx yang lebih bersifat dogmatis ketimbang ilmu ketajaman dalam melakukan analisa – analisa. Hal tersebut harus dilakukan seksama dalam masyarakat oleh gerakan mahasiswa kebangsaan mengingatisi makna yang tersiat dalam teori tersebut adalah perjuangan terhadap pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan tirani dalam masyarakat yang dilakukan oleh kelompok – kelompok kapitalisme dan pengusaha.
Namun dalam kenyataan Ideologi secara tidak sadar akan masuk menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Ketika manusia itu di nina bobokan oleh kamuflase – kamuflase untuk itulah pembongkaran – pembongkaran ideologin harus dilakukan dengan cara – cara berfikir secara kritis terhadap dogma – dogma agama.
Protes kritisme dan interprestasi atsa ajaran – ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk menghancurkan agama, namun justru sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi teratas agar tidak digunakan oleh kepentingan – kepentingan politik tetentu untuk tujuan politik tertentu pula.
Pers Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi atau revolusi Mei 1998 yang mencapai momen bersejarah dengan pengunduran diri presiden Soeharto, setelah berkuasa selama 32 tahun. Meskipun pers bukanlah pelopor dari gerakan revolusi itu, namun pers telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam peristiwa tersebut dengan penyajian berita-berita yang kritis sehingga melemahkan legitimasi rezim Orde Baru yang berkuasa pada waktu itu. Wacana tentang peranan pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998 dapat digeneralisasikan bahwa wacana mengenai kontribusi signifikan pers dalam memicu perubahan masyarakat seakan mengikuti teori klasik komunukasi massa yang telah populer sejak lama, yaitu teori serba media. Diasumsikan bahwa media massa (dalam hal ini pers) mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi masyarakat, bukan saja dalam membentuk opini dan sikap tetapi juga dalam memicu terjadinya gerakan sosial.
BAB 3
Kesimpulan
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
• Syamsudin Azis . Kaum Muda Menatap Masa Depan Indonesia . Jakarta Rakyat Merdeka Group Book 2008
• Id. Wikipedia .Org
Langganan:
Postingan (Atom)