Sabtu, 14 November 2009

opini publik dan gerakan mahasiswa

BAB 1
Pendahuluan
Gerakan Mahasiswa merupakan fenomena gerakan politik kelas menengah yang terjadi di berbagai negara tak terkecuali indonesia. Digolongkan kedalam kelas menengah karena secara ekonomi mahasiswa berasal dari keluarga yang mampu setidaknya mampu membayar kuliah . Sedangkan melalui proses pendidikan mahasiswa memperoleh kesadaran politik untuk memahami apa yang baik dan buruk berdasarkan norma – norma bermasyarakat dan bernegara .
Namun sebelumnya apakah yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa ? Apa saja ruang lingkupnya ? mengajukan pertanyaan seperti menjadi penting , karena di kalangan mahsiswa sendiri masih terjadi perbedaan – perbedaan pemahaman yang mengakibatkan benturan antar kelompok dalam pilihan pola gerakan. Menurut Philip G Albach gerakan mahasiswa pecah apabila ketidakpuasan tersebut disusun berdasarkan ideologi sembari memberikan alternatif penyelesaiannya.
Jika kita menggunakan perbandingan politik , gerakan mahasiswa memang memiliki pola gerakan yang berbeda – beda antara lain kondisi struktur politik , kultur politik dan geo politik yang berbeda . Meski demikian , meanstream gerakan mahasiswa adalah gerakan moral yang umumnya terkonsolidasi karena rezim pemerintahan otoriter atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan norma – norma masyarakat umum bahkan isu tata hubungan internasional
Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Opini bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".
BAB 2
Karakteristik Mahasiswa
Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. Shill menyebukan ada lima fungsi kaum intelektual yakni mencipta dan penyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Sementara itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi.
Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik,Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda.
Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Sebagai Gerakan Moral
Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial yang didefinisikan Nan Lin (1992) Kedua , sebagai upaya kolektif untuk memajukan atau melawan perubahan dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Rudolf Heberle (1968)Ketiga , menyebutkan bahwa gerakan sosial merujuk pada berbagai ragam usaha kolektif untuk mengadakan perubahan tertentu pada lembaga-lembaga sosial atau menciptakan orde baru. Bahkan Eric Hoffer (1988) Keempat ,menilai bahwa gerakan sosial bertujuan untuk mengadakan perubahan.
Teori awal menyebutkan, sebuah gerakan muncul ketika masyarakat menghadapi hambatan struktural karena perubahan sosial yang cepat seperti disebutkan Smelser (1962). Teori kemacetan ini berpendapat bahwa “pengaturan lagi struktural dalam masyarakat seperti urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan hilangnya kontrol sosial dan meningkatkan “gelombang menuju perilaku antisosial”. Kemacetan sistemik ini dikatakan menjadi penyebab meningkatnya aksi mogok, kekerasan kolektif dan gerakan sosial dan mahasiswa Pakar kontemporer tentang gerakan sosial mengkritik teori-teori kemacetan dengan alasan empirik dan teoritis.
Denny JA juga menyatakan adanya tiga kondisi lahirnya gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa.Kelima , Pertama, gerakan sosial dilahirkan oleh kondidi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter.
Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluasnya gerakan sosial.
Ketiga, gerakan sosial semata-masa masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan.
Gerakan mahasiswa mengaktualisikan potensinya melalui sikap-sikap dan pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal. Ciri khas gerakan mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya.
Gerakan moral ini diakui pula oleh Arief Budiman yang menilai sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya mereka sendiri. Mahasiswa, tulis Arief Budiman, sering menenkankan peranannya sebagai “kekuatan moral” dan bukannya “kekuatan politik”.Keenam , Aksi protes yang dialncarkan mahassiwa berupa demonstrasi di jalan dinilai juga sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis.
Arief Budiman juga menambahkan, konsep gerakan moral bagi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam sistem politik.
Ketujuh ,Setelah pendobrakan dillakukan maka adalah tugas kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam hal ini partai-partai atau organisasi politik yang lebih mapan yang melakukan pembenahan.
Sependapat dengan Arief Budiman, Arbi Sanit menyatakan komitmen mahasiswa yang masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan keseharian mereka dalam mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan yang digeluti adalah sadar politik mahasiswa. Karena itu politik mahasiswa digolongkan sebagai kekuatan moral Kedelapan , Kemurnian sikap dan tingkahlaku ,mahassiwa menyebabkan mereka dikategorikan sebagai kekuatan moral, yang dengan sendirinya memerankan politik moral.
Gerakan Massa
Namun seperti halnya gerakan sosial umumnya senantiasa melibatkan pengorganisasian. Melalui organisasi inilah gerakan mahasiswa melakukan pula aksi massa, demonstrasi dan sejumlah aksi lainnya untuk mendorong kepentingannya. Dengan kata lain gerakan massa turun ke jalan atau aksi pendudukan gedung-gedung publik merupakan salah satu jalan untuk mendorong tuntutan mereka.
Dalam mewujudkan fungsi sebagai kaum intelektual itu mahasiswa memainkan peran sosial mulai dari pemikir, pemimpin dan pelaksana. Sebagai pemikir mahasiswa mencoba menyusun dan menawarkan gagasan tentang arah dan pengembangan masyarakat. Peran kepemimpinan dilakukan dengan aktivitas dalam mendorong dan menggerakan masyarakat. Seadngkan keterlibatan mereka dalam aksi sosial, budaya dan politik di sepanjarang sejarah merupakan perwujudkan dari peran pelaksanaan tersebut.
Upaya mahasiswa membangun organisasi sebagai alat bagi pelaksanaan fungsi intelektual dan peran tidak lepas dari kekhasannya. Motif mahasiswa membangun organisasi adalah untuk membangun dan memperlihatkan identitas mereka didalam merealisaskan peran-peran dalam masyarakatnya. Bahkan mereka membangun organisasi karena yakin akan kemampuan lembaga masyarakat tersebut sebagai alat perjuangan.
Bentuk-bentuk gerakan mahasiswa mulai dari aktivias intelektual yang kritis melalui seminar, diskusi dan penelitian merupakan bentuk aktualiasi .
Selain kegiatan ilmiah, gerakan mahasiswa juga menyuarakan suara moralnya dalam bentuk petisi, pernyataan dan suara protes.
Bentuk-bentuk konservatif ini kemudian berkembang menjadi radikalisme yang dimulai dari aksi demonstrrai dalam kampus. Secara perlahan karena perkembangan di lapangan dan keberanian mahasiswa maka aksi protes dilanjutkan dengan turun ke jalan-jalan.
Bentuk lain dari aktualisasi peran gerakan mahasiswa ini dilakukan dengan menurunkan massa mahasiwa dalam jumlah besar dan serentak. Kemudian mahasiswa ini dalam mendorong desakan reformasi politiknya melakukan kependudukan atas bangunan pemerintahan dan menyerukan pemboikotan. Untuk mencapai cita-cita moral politik mahasiwa ini maka muncul berbagai bentuk aksi seperti umumnya terjadi dalam, gerakan spesial. Arbi menyatakan, demonstarsi yang dilakukan mahasiwa fungsinya sebagai penguat tuntutan bukan sebagai kekuatan pendobrak penguasa. Strategi demonstasi diluar kampus merupakan bagian dari upaya membangkitkan semangat massa mahasiswa.
Peran mahasiswa sebagai gerakan moral dan gerakan massa untuk mendorong reformasi politik adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual. Berbeda dengan gerakan revolusi, gerakan reformasi seperti dikatakan,Nanlin, berbeda dengan gerakan revolusi yang mengejar perubahan struktural yang fundamental. Gerakan reformasi berusaha memdofikasi hubungan struktural tanpa mengancam eksistensi insitusi.
Menurut Arbi ada dua tahap dalam reformasi politik. Pertama, tahap transisi yang merupakan proses peralihan dari proses krisis politik ke proses normal kehidupan politik. Di tahap transisi, pemicu proses reformasi akan mengawali aktualisasinya. Ada lima kemungkinan peristiwa politik yang berpotensi menjadi pemicu yang akan mengawali berlangsungnya proses reformasi politik yaitu kudeta, kesadaran penguasa, tekanan publik opini kepada penguasa, presiden meninggal dan people’s power yang aktif dan kuat.
Tahap kedua, reformasi normal dimana reformasi dilakukan dalam kerangka sistem politik yang ada. Reformasi normal ini dilakukan melalui reformasi suprastruktur dan infrastruktur.
Arbi Santi menyebutkan, reformasi politik mahasiwa terfokus kepada suksesi kepemimpinan, penegakan pemerintahan yang kuat-efektif sehingga produktif, penegakan pemerintahan yang bersih, penetapan kebijakan puiblik yang adil dan tepat dan demokratisasi politik.




PERGERAKAN MAHASISWA ERA ORDE BARU
PROTES-protes heroik mahasiswa anti-komunis di bawah Orde Baru, kerap disebut gerakan mahasiswa. Aliansi segitiga tentara, teknokrat dan mahasiswa mengawali demonstrasi turun ke jalan untuk menumbangkan rezim Soekarno yang sedang runtuh: tiga tuntutan rakyat (tritura) pada 1966. Elite militer membentuk pemerintahan Orde Baru dan menggelar pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Partai-partai pun dikendalikan oleh rezim yang berkuasa untuk mendukung pembangunan. Rakyat kemudian diubah menjadi 'massa mengambang' (floating mass) yang tidak boleh menghalangi pembangunan.
Setelah itu, mahasiswa kembali ke kampus (back to campus). Proses demo menyuarakan protes dan kisah kepahlawanan menumbangkan Soekarno yang didaur ulang, serta kemudian kembali ke bangku kuliah tanpa merasa punya kepentingan menikmati kursi kekuasan politik, maka mitos peran mahasiswa pun dibaptis sebagai “gerakan moral”. Identitas politiknya adalah kaum intelektual yang melakukan kritik terhadap pemerintah, tanpa ambisi berkuasa dan bebas kepentingan politik. Inilah lakon mahasiswa sebagai resi yang terus didaur ulang sebagai gerakan moral yang elitis
Pemerintah Orde Baru mengakui pentingnya peran mahasiswa sebagai calon intelektual atau lapisan terdidik yang dibutuhkan untuk mengisi jaringan teknostruktur. Aksi-aksi protes mahasiswa memang tidak disukai pemerintah karena dapat menimbulkan 'aib', tapi juga tidak sepenuhnya dilarang. Mahasiswa boleh menyampaikan kritik dan protes, tapi tetap dalam batas-batas stabilitas keamanan dan pembangunan nasional. Setelah menyampaikan protes, mahasiswa harus kembali ke kampus sebagaimana yang ditunjukkan pada akhir 1960-an dan setelah 15 Januari 1974. Dengan begitu, skenario resi adalah lakon yang harus dipersembahkan mahasiswa dalam pembangunan di mana arenanya adalah kampus universitas. Setelah protes, mahasiswa harus kembali ke 'menara gading' itu.
Kritik mahasiswa pada dasawarsa 1970-an, tertuju pada strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Dengan itu, 'kue ekonomi' lebih didistrubusi pada sedikit orang ketimbang rakyat kebanyakan. Bahkan, orientasi ini menimbulkan kesenjangan sosial dan dominasi modal asing. Protes seperti ini membuat mahasiswa mendapat tuduhan 'ditunggangi' atau 'politik praktis'. Gerakan mahasiswa juga sempat disebut-sebut sebagai “satu-satunya oposisi”.
Menguatnya pemerintah Orde Baru dengan penghasilan migas (minyak dan gas) yang melimpah, menyebabkan legitimasi mahasiswa mulai disingkirkan. Ketika tuntutan gerakan mahasiswa 1978 – tertuang dalam Buku Putih Mahasiswa ITB – tidak lagi mempercayai Soeharto, kebijakan yang keras pun ditempuh. Mahasiswa dituduh merongrong dan hendak menggulingkan pemerintah atau melakukan makar. Sebaliknya, mahasiswa berusaha menyangkal tuduhan itu dan tetap menyakinkan penguasa bahwa protes mereka sebagai gerakan moral. Tapi kebijakan represif dikeluarkan pemerintah selain menangkap dan mengadili para pimpinan DM, juga membekukan dan melarang dewan mahasiswa (DM). Sebagai gantinya, diberlakukan NKK/BKK. Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.



Sejak pembrangusan 'pemerintahan mahasiswa' (student government) di kampus-kampus perguruan tinggi, politik mahasiswa kehilangan orientasi. Proses reorientasi mulai berlangsung pada dasawarsa 1980-an, di mana beberapa aktivis melakukan otokritik. Sebagian mahasiswa mulai belajar teori-teori pembangunan, Ketergantungan dan marxisme* (teori Marx and teori Kant). Mereka membentuk sejumlah kelompok studi/ diskusi. Mereka juga mulai berhubungan dengan kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang belakangan dikenal dengan singkatan LSM. Dari menara gading, mereka ingin turun ke bawah, atau dari berteori ingin berpraktik. Dari mereka muncul pertanyaan: pembangunan yang dijalankan untuk kepentingan siapa?
Mahasiswa 1980-an mulai menemukan realitas bahwa hasil pembangunan bukan lagi 'menetes ke bawah' (trickle down effect), melainkan telah memiskinkan rakyat. Keprihatinan mereka timbul ketika menemukan proyek-proyek perkebunan inti rakyat (PIR) dan penggusuran penduduk dari lahan garapan di pedesaan maupun penertiban pedagang kecil dan sektor informal di perkotaan yang menghancurkan penghidupan rakyat. Mereka kian prihatin dengan sengketa lahan ketika rakyat Badega (Garut), digusur untuk lahan perkebunan dan rakyat Kedungombo (Jateng), disingkirkan untuk pembangunan waduk. Dari sinilah mahasiswa mengangkat kredo: “rakyat adalah tumbal pembangunan”, “rakyat sebagai korban pembangunan”.
Radikalisasi kritik mahasiswa terhadap pembangunan yang dijalankan pemerintah Orde Baru di pedesaan adalah bagian dari kebijakan intensifikasi di sektor pertanian dan perkebunan, menyusul porak-porandanya neraca pembayaran pemerintah akibat anjloknya harga migas di pasar internasional. Dengan kritik ini pula, mahasiswa pun menemukan sarana praktisnya memulai debutnya dalam kancah politik melalui bentuk komite-komite solidaritas terhadap rakyat yang menjadi korban pembangunan. Protes-protes mereka tidak lagi sendirian, melainkan bersama-sama rakyat yang kepentingannya diperjuangkan mahasiswa
Radikalisasi kritik mahasiswa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, juga berkembang ketika pemerintah mengintensifkan kebijakan industri orientasi ekspor yang mengandalkan upah buruh yang rendah dan jam kerja yang panjang. Sebagian aktivis mahasiswa menemukan rangkaian kasus perselisihan perburuhan yang dimanifestasikan dalam berbagai aksi pemogokan. Mereka pun terlibat untuk membela dan mendukung protes-protes kaum buruh di sejumlah kawasan industri seperti di Solo, Surabaya, Bogor, Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Mereka pun membentuk kelompok-kelompok buruh dan bahkan semacam serikat buruh.
Pada masa Orde Baru, Kebebasan media massa dikekang bahkan sangat dibatasi, media yang mengkritik pemerintahan dalam konotasi negatif akan di cabut perizinannya sebagai contohnya Koran Suara Pembaharuan yang dicabut perizinannya dikarenakan telah mengkritik pemerintah. Dalam hal ini, Salah satu fungsi media massa sebagai wadah penyalur opini publik tidak berjalan secara maksimal, banyak para jurnalis yang menulis kritikanya secara diam-diam bahkan hanya menyimpanya sebagai unek-unek dan sebagai arsip “masa depan” saja.
Hal ini sejalan dengan pergerakan mahasiswa pada masa itu, Mahasiswa pun dibatasi bahkan dilarang menyebarkan atau membuat Opini Publik akan pemerintah, Pemerintah bersikap tegas dan radikal dengan menculik, memenjarakan, dan menghilangkan oknum mahasiswa yang melakukan kritikan terhadap pemerintah. Disini sangat jelas sekali sikap Otoriter pemerintahan saat itu.
PERJALANAN MENUJU REFORMASI
Perubahan orientasi gerakan mahasiswa pun tampak. Jika sebelumnya lakon mahasiswa adalah gerakan moral, maka sejak 1990-an, menjadi gerakan politik yang berbaur bersama rakyat yang mereka perjuangkan kepentingannya. Dengan begitu, bayang-bayang mitos agung gerakan moral yang elitis mulai ditanggalkan. Mahasiswa beralih sebagai 'pejuang rakyat'. Panggung atau arenanya juga telah bergerak ke luar kampus. Kendati begitu, pemerintah juga tidak sepenuhnya melarang apa yang dilakukan mahasiswa di luar kampus, sejauh tidak mengganggu jalannya pembangunan. Pembatasan lakon ini dilakukan dengan menangkap, menahan dan bahkan mengadili mahasiswa.
Perubahan orientasi itu juga mengantarkan sejumlah aktivis mahasiswa ke gelanggang yang lebih luas. Mereka tidak lagi terkucil dalam kampus, sebaliknya membentang arena pertarungan pada basis pengorganisasian rakyat dalam menggalang aksi-aksi protes. Fenomena Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) menunjukkan, bagaimana kritik radikal dan kebutuhan untuk beraliansi dengan kekuatan-kekuatan lain di masyarakat semakin menanggalkan identitas mahasiswanya, bahkan mengubah arena 'perjuangan'nya ke wilayah yang lebih luas. Kritik mereka juga langsung tertuju pada pengekangan kebebasan berpendapat dan berserikat ketika mereka membentuk SMID. Dan lebih tajam lagi, mereka membentuk Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), serta akhirnya mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) – sebuah partai oposisi – melampaui batas-batas toleransi politik Orde Baru. Tapi setelah peristiwa 27 Juli 1996, PRD – bersama SMID dan PPBI – di-PKI-kan dan dilarang, termasuk mengadili para pimpinannya.
Kini, dengan gagalnya PRD merebut kursi parlemen, memudarnya identitas politik mahasiswa (kampus), seiring dengan dinikmatinya kebebasan berserikat atau berorganisasi di luar kampus, bahkan ditunjukkan dengan keberadaan sistem multipartai dan lantas pemilihan presiden secara langsung, bukan saja format politik baru ini memorak-porandakan identitas politik mahasiswa arahan Orde Baru dalam skenario resi, tapi juga yang lebih penting lagi, bagi masa depan, adalah meletakkan kembali gerakan mahasiswa dalam konteks politik kontemporer yang telah berubah.

Lebih mendasar lagi, mahasiswa tidak pernah meletakkan posisinya yang konkret sebagai sebuah lapisan sosial di mana universitas atau perguruan tinggi menjalankan fungsi reproduksi tenaga kerja, selain fungsi reproduksi ide dan teori modernisasi, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
PERGERAKAN MAHASISWA ERA REFORMASI
Sepanjang sejarah gerakan mahasiswa 98 hingga kini, student movement sebagai social agent belum menemukan bentuk atau pun format yang ideal dalam gerakanya, dan masih bersifat lokal. Bahkan dalam banyak kasus dari rakyat. Kondisi ini membuat masyarakat tidak banyak berharap kepada gerakan mahasiswa, bahkan rakyat mulai nmencibir dan melacehkan setiap gerakan mahasiswa kebangsaan. Berbagai tuduhan mengalir kepada mahasiswa saat ini, diantaranya melalui, berbagai ungkapan dengan bahasa sindiran dan ledekan yang menyalakan gerakan mahasiswa serta reformasi yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa.
Kondisi yang sangat menyesakkan dan menyesatkan ini terjadi akibat mahasiswa telah melalaikan tugas dari sejarah gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan dalam suatu bangsa. Gerakan mahasiswa tidak mau melihat kondisi objektif sosial kemasyarakatan serta kondisi sturktural kebangsaan yang menyebabkan terjadinya kondisi sosial yang buruk serta carut marut itu sehingga turut membuat gerakan mahasiswa menjadi tidak efektif lagi dan kehilangan simpati dari masyarakat luas.
Bukan hanya itu saja, gerakan mahasiswa saat ini juga hanya cenderung bergerak dalam persoalan - persoalan Suksesi Kepemimipinan Nasional dan tidak mau berdampingan dengan kekuatan rakyat dan buruh yang senantiasa mengguggat persoalan perut rakyat yang lapar, dari sini terlihat jelas bahwa gerakan mahasiswa yang membawa Jargon - jargon kebangsaan telah pudar dimata masyarakat dikarenakan terlampau elitis sehingga tidak lagi berbasiskan kepada rakyat dengan tidak membawa isu – isu yang populis mengenai persoalan rakyat kecil, karena hanya mau memainkan isu – isu elit politik diparlemen serta dalam persoalan pro dan kontra elit politik yang di kemas serta di usung sebagai bagian dari Grand Design Isu Nasional dengan mengatas – namakan rakyat kecil.
Kenapa gerakan mahasiswa yang menonjol hanya pada persoalan Suksesi Kepemimpinan Nasional ? Apakah dikarnakan isu – isu yang lain tidak lagi populis atau dikarnakan ada muatan politik dari mahasiswa atau karena sebuah ambisi yang terpendam dari kekuatan lain yang sengaja ikut memboncengi kekuatan student movement sebagai salah satu pilar utama gerakan perubahan sosial di Indonesia!!
Beranjak dari pemahaman tentang fenomena gerakan mahasiswa kebangsaan diatas apakah masih relevan posisi mahasiswa sebagai kekuatan politik atau agen of change?
Gerakan mahasiswa sebagai pendorong perubahan dalam konteks kekinian memperlihatkan kecenderungan menurun, karena tidak ada suatu kreasi yang kreatif dari kalangan mahasiswa itu sendiri, dan mereka juga tidak mampu merumuskan gerakan – gerakan yang kreatif. Komunitas gerakan mahasiswa dalam melakukan perubahan sangat tergantung pada kader – kader generasi sekarang, mahasiswa saat ini harus lebih kreatif dan harus berani memposisikan diri dari para seniornya “orang tua” karena akan sangat sulit ketika gerakan mahasiswa kebangsaan berperilaku seperti orang tua yang sudah saatnya mundur dalam percaturan politik di tanah air ini, gerakan mahasiswa juga harus mampu menarik benang merah dari kekuatan elit politik serta berani melakukan pemotongan terhadap generasi yang terdahulu (potong satu generasi).
Gerakan mahasiswaan dan pemuda kebangsaan di Indonesia masih menampakkan perilaku cengeng, manja, yang tidak mau bekerja keras , dan tidak mempunyai inisiatif sendiri, serta bermental seperti tempe. Gerakan dan pola muda motivasi seperti diatas dilakukan hanya untuk memperoleh keuntungan materi dan kekuasaan saja.
Akan tetapi harus disadari pula tak adil pula rasanya mentertawakan terus gerakan mahasiswa itu, andaikan jika kita menilai gerakan mahasiswa kebangsaan itu seperti “tempe” sebaliknya kita menelusuri faktor penyebabnya !! Mengapa hal tersebut dapat terjadi ?!
Dilain pihak ekses yang kerap terjadi dalam gerakan mahasiswa kebangsaan, yakni berupa suatu kekerasan akan selalu dijadikan sebagai ajang pembenaran dan dianggap sebagai tujuan perjuangan pemuda dan mahasiswa kebangsaan, padahal kekerasan bukan merupakan sifat dan karakter kader gerakan kebangsaan yang selalu bergerak dengan membawa isu – isu moral.
ANTARA MEMBANGUN MORAL DAN POLITIK
Sepanjang lintasan sejarah gerakan mahasiswa kebangsaan selalu menjadi sebuah perdebatan dan pertentangan apakah sebagai gerakan moral atau gerakan politik. Hal tersebut sangatlah menarik untuk dibicarakan sebagai suatu wacana yang terus - menerus, bahkan telah menjadi suatu Oase Intelektual yang tiada habis habisnya untuk selalu diperbincangkan oleh para pengamat, akademisi maupun masyarakat pada umumnya. Kadang kala saja student movement tidak dianggap sebagai sebuah gerakan politik meskipun implikasi dan impresi serta Oase politiknya jelas terlihat sarat akan muatan – muatan politik, semisal contoh peran dan keterlibatan gerakan mahasiswa yang mengusung simbol kebangsaan dalam menjatuhkan rezim yang berkuasa dan juga pada persoalan suksesi kepemimpinan nasional yang lain penjatuhan rezim Soekarno, Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sementara itu pihak yang lain lebih memahami gerakan mahasiswa kebangssan sebagai social movement (Gerakan Sosial) dikarnakan karakter gerakannya yang tidak ingin langsung merebut sesuatu kekuasaan atau menjadi agen perubahan dari sebuah kekuatan politik tertentu dalam negara untuk merebut kuasa, lantaran persoalan moralitas dengan isi – isu populis yang dapat menyatukan berbagai kepentingan seluruh komponen bersama atau masyarakat sehingga dapat memperoleh dukungan yang sangat luas, bagi gerakan mahasiswa tersebut.
Gerakan mahasiswa kebangsaan telah berjalan dengan baik ketika mereka berhasil menurunkan rezim tirani otoritarian orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada Mei 98, tak pelak lagi itu merupakan suatu bentuk gerakan yang moral, menggugat apa yang diperjuangkan adalah menyangkut masalah moralitas kepemimpinan Soeharto waktu itu dan moralitas menyangkut perasaan orang banyak, jadi pada waktu itu, gerakan mahasiswa kebangsaan masih berjalan pada landasan gerakan moral atau moral force, niscaya gerakan tersebut akan didukung oleh masyarakat luas.
Dalam keadaan situasi yang sangat kritis seluruh komponen masyarakat Indonesia akan mendukung dan berada dibelakang setiap aksi – aksi mahasiswa. Dukungan masyarakat muncul beragam dan dalam berbagai rupa, ada yang sekedar memberikan dukungan moral saja, atau dengan memberikan sumbangan dalam bentuk finansial (dana). Guna menyuplai dukungan logistik untuk mahasiswa maupun bantuan medis serta upaya – upaya dibidang hukum bagi mahasiswa yang menjadi korban tindak kekerasan refresif dari aparat. Praktis seluruh komponen bangsa mengikuti dengan seksama tahapan – tahapan perjuangan mahasiswa dalam upaya menumbangkan rezim otoriter rezim orde baru yang merengut nyawa empat mahasiswa korban keganasan peluru aparat, yang kemudian membuat jutaan rakyat Indonesia larut dalam suasana duka !
Pada kondisi politik yang tidak stabil dalam negara gerakan mahasiswa akan tampil sebagai gerakan moral terdepan guna mendongkrak hegemoni kekuasaan rezim akan tetapi pada kondisi politik yang stabil dan ada tanda – tanda perbaikan dalam negara, maka gerakan mahasiswa akan menyurut, apalagi dalam kondisi yang ebih maju seperti apa yang dipraktekan oleh masyarakat modern dalam hal demokrasi, maka peran partai politik akan lebih dominan ketimbang peran social control yang dilakukan oleh mahasiswa, oleh karna partai politik yang akan ambil bagian dalam membicarakan ikhwal – ikhwal kekuasaan negara, dan ini bukan berarti gerakan mahasiswa dianggap tidak ada artinya sama sekali akan tetapi memang realitas yang terjadi begitu ada partai politik yang aspiratif, student movement bakal surut biarpun begitu gerakan mahasiswa yang mengusung jargon kebangsaan tetap berarti dan sangat penting memperjuangkan perasaan orang banyak missal dalam perjuangan menegakan HAM, penegakan supemasi hokum. Pemerintah yang bersih (Clear or Good Government) dan lain sebagainya.
Singkat kata, takkala peran partai politik telah aspiratif dan sesuai dengan keinginan masyarakat banyak, maka gerakan mahasiswa bukan lagi merupakan ancaman bagi para penguasa. Gerakan moral mahasiswa dalam hal ini semestinya tidak boleh ada urusanya dengan kekuasaan. Akan tetapi sah – sah saja gerakan mahasiswa membawa kepentingan politik tertentu, namun jika itu yang berlangsung maka hendaklah gerakan mahasiswa tidak lagi mengatasnamakan sebagai gerakan moral, dan bila itu tetap terjadi maka gerakan mahasiswa akan kehilangan simpati yang luas dari masyarakat , kalau gerakan mahasiswa tetap bergerak dalam suasana yang demikian itu akan dilihat sebagai gerakan politik mahasiswa dan bukan lagi gerakan moral mahasiswa yang murni atas dasar keinginan nurani yang terpanggil, karena gerakan moral selalu membawa perasaan orang banyak dan akan memperoleh dukungan yang luas dari masyarakat , berbeda dengan gerakan politik, yang lebih mementingkan pilihan tertentu, dan sesuai dengan kegiatan politik kelompok tertentu pula.
Di alam demokrasi dan keterbukaan ini sah – sah saja jika ada kelompok yang melakukan gerakan politik, aslkan dengan cara – cara yang tidak merusak nilai – nilai dalam demokrasi, sebagai upaya nrgosisasi dan bargaining serta pembentukan opini publik. Namun dalam hal ini janganlah gerakan mahasiswa kebangsaan mengklaim sebagai gerakan moral, dan itu akan berdampak buruk terhadap citra gerakan mahasiswa secara menyeluruh.
Apalagi jika gerakan mahasiswa kebangsaan sempat berafiliasi dengan kekuatan partai dan bersama – sama turun kejalan dengan partai tersebut, maka sangat terlihat jelas adanya ambisi dari mahasiswa dan parpol itu untuk merebut kekuasaan, maka dengan perlahan gerakan mahasiswa akan dikucilkan oleh masyarakat dan akan hilangnya harga diri gerakan mahasiswa karena ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Memang agak sulit untuk membangun gerakan moral ketimbang membangun gerakan politik, tetapi dengan seiring berjalanya waktu maka gerakan mahasiswa akan lebih mantap dan dewasa dalam mengambil keputusan serta pilihan yang benar dimasa yang mendatang karena sejarah akan mencatatkan tinta emas terhadap keberhasilan gerakan mahasiswa.
Pada dasarnya pola fikir ideologisasi (pembelengguan) dan dogmatis itu sudah muncul sebagai respon atas kebekuan pemikiran karena terjebak dalam suatu dagmatisasi empirisme dan rasionalisme. Imanuel Kant Lantas mendobrak kejemuan ini dengan mengkolaborasikan keduanya dan melahirkan suatu pemahaman baru yang disebut dengan filsafat kritisme. Pola pikir Kant ini akhirnya dikembangkan oleh Fitche, Hagle dan sampai pada puncaknya yakni tokoh seperti Karl Marx.
Karl marx dalam pemikiranya banyak terinspirasi oleh kritisme Kant, ditenggarai bahwa pemikiran kritis Marx terjadi sebagai respon atas realitas yang terjadi pada zamanya dimana rakyat pada waktu itu kebanyakan terbelenggung dalam sekat – sekat kelas Marx juga melakukan kritik terhadap masyarakat ekonomis kapitalis yang didasarkan pada pembagian kelas dan dominan aktifitas produksi ekonomi yang pada perkembangan selanjutnya para buruh tersaing dengan hasil produksinya sendiri, sementara itu pemilik modallah yang mengeruk keuntungan dengan berlipat lipat ganda.
Meskipun Imanuel Kant dan Karl Marx bukan pemikir pembongkar kontruktif tentang paradigm kririsme mengenai ideologi namun keberadaan paradigma kristime itu tidak terlepas dari polarisasi pemikiran kedua tokoh tersebut, karena jika ditelusuri lebih jauh akar pemongkaran ideologi yang konstruktif, itu merupakan kontribusi pemikiran kedua tokoh ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembongkaran ideologi kedalam paradigma yang kritis sebenarnya anak dan dialektika pemikiran Imanuel Kant dan Karl Marx.
Teori ini dalam kurun waktu tertentu betul – betul menjadi bahan diskusi yang menarik bagi generasi kritis mahasiswa karena maksud dari teori tersebut dalah bagaimana membebaskan masyarakat dari belenggung serta manipualsi para teknorat modern dan pemimpin yang jalim. Secara mendalam generasi muda kebangsaan saat ini sangat merasa muak dengan kebudayaan kapitalis yang hanya membanggakan pembangunan fisik saja namun tidak dapat mengisi kekosongan jiwa yang manusiawi. Dalam kekosongan itulah teori ini menjadi jalan alternative karena dianggap mampu mengartikulasi ketidak puasan terhadap dampak ilmu pengetahuan modern yang menurut mereka menghilangkan identitas diri sebagai manusia.
Meskipun embrio pemikiran ini berasal dari Marx, mahasiswa tidak boleh begitu saja membebek kepada Marx. Bahkan harus memberikan kritik social yang tajam Terhadap beberapa kelemahan teori Marx. Karena itu dituntut sebuah kemandirian intelektual dalam melakukan analisa – analisa Marx yang lebih bersifat dogmatis ketimbang ilmu ketajaman dalam melakukan analisa – analisa. Hal tersebut harus dilakukan seksama dalam masyarakat oleh gerakan mahasiswa kebangsaan mengingatisi makna yang tersiat dalam teori tersebut adalah perjuangan terhadap pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan tirani dalam masyarakat yang dilakukan oleh kelompok – kelompok kapitalisme dan pengusaha.
Namun dalam kenyataan Ideologi secara tidak sadar akan masuk menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Ketika manusia itu di nina bobokan oleh kamuflase – kamuflase untuk itulah pembongkaran – pembongkaran ideologin harus dilakukan dengan cara – cara berfikir secara kritis terhadap dogma – dogma agama.
Protes kritisme dan interprestasi atsa ajaran – ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk menghancurkan agama, namun justru sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi teratas agar tidak digunakan oleh kepentingan – kepentingan politik tetentu untuk tujuan politik tertentu pula.
Pers Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi atau revolusi Mei 1998 yang mencapai momen bersejarah dengan pengunduran diri presiden Soeharto, setelah berkuasa selama 32 tahun. Meskipun pers bukanlah pelopor dari gerakan revolusi itu, namun pers telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam peristiwa tersebut dengan penyajian berita-berita yang kritis sehingga melemahkan legitimasi rezim Orde Baru yang berkuasa pada waktu itu. Wacana tentang peranan pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998 dapat digeneralisasikan bahwa wacana mengenai kontribusi signifikan pers dalam memicu perubahan masyarakat seakan mengikuti teori klasik komunukasi massa yang telah populer sejak lama, yaitu teori serba media. Diasumsikan bahwa media massa (dalam hal ini pers) mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi masyarakat, bukan saja dalam membentuk opini dan sikap tetapi juga dalam memicu terjadinya gerakan sosial.




BAB 3
Kesimpulan
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.

















DAFTAR PUSTAKA
• Syamsudin Azis . Kaum Muda Menatap Masa Depan Indonesia . Jakarta Rakyat Merdeka Group Book 2008
• Id. Wikipedia .Org

2 komentar:

  1. Mysuru Casino - The HERZAMMAN
    Mysuru wooricasinos.info Casino - The Home of 바카라 the Best of the Slots! Visit 토토 us to Play the best slots and enjoy the best table games in our casino. Visit herzamanindir.com/ us https://vannienailor4166blog.blogspot.com/

    BalasHapus