Sabtu, 28 November 2009

biografi Haji Ali Akbar Navis

Haji Ali Akbar Navis
A.A. Navis merupakan putra kelahiran tanah Sumatra,lahir di Kampung Jawa ,suatu tempat di daerah Padang, Sumatra Barat,pada tanggal 17 November 1924.”A.A Navis” adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya, menulis merupakan bakat alami yang melekat pada dirinya. Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932 sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei . Lebih dari 20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen, puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam dunia sastra Indonesia.”Robohnya Surau Kami” kita sering mendengar cerita pendek itu,itu adalah salah satu karyanya yang sangat terkenal karena ceritanya penuh dengan intrik-intrik yang menarik untuk diikuti.Yang roboh di dalam cerita itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai seperti yang dialami Negara kita ini. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Robohnya Surau Kami, terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah, (1955). Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Dia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri. Navis 'Sang Pencemooh' begitu Ia mendapatkan julukannya adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar pada tanggal 22 Maret 2003 lalu,dalam usianya yang berumur 78 tahun A.A Navis menghembuskan nafas terakhirnya. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes.Navis sangat menaruh perhatian yang amat sangat besar dalam dunia sastra di Indonesia,hal itu terbukti ketika dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.
.A.A Navis juga sering berkomentar mengenai perkembangan dunia sastra di Indonesia Dia melihat Perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. “Dulu si pengarang itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. Sekarang memang banyak pengarang lahir. Dulu juga banyak, cuma penduduk waktu itu 80 juta dan sekarang 200 juta. Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental, yang aneh memang banyak,” katanya. Perihal orang Minang, dirinya sendiri, dia mengatakan keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. “Yang benar, penuh perhitungan,” katanya, dia mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. “Yang benar galia atau galir, ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar)”, selorohnya.
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.
Selain itu “sang pencemooh” juga memiliki pandangan-pandangan tersendiri ketia ia berbicara mengenai Indonesia .Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi, orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.
Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.
Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah "tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.begitu banyak pemikiran-pemikiran, ide-ide serta masukan-masukannya di dalam dunia sastra Indonesia,sehingga ketika ia pergi banyak sekali orang-orang yang merindukannya. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:

• Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)
• Gerhana: novel (2004)
• Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)
• Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
• Dermaga Lima Sekoci (2000)
• Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
• Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)
• Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
• Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
• Surat dan Kenangan Haji (1994)
• Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)
• Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
• Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
• Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
• Di Lintasan Mendung (1983)
• Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
• Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
• Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
• Kemarau (1967)
• Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
• Hudjan Panas (1963)
• Robohnya Surau Kami (1955)

Selain itu A.A Navis juga banyak mendapatkan penghargaan atas karya-karya yang telah ia ciptakan,diantaranya adalah:

1. Peraih hadiah sastra bergengsi di Asia, Sea Write Award (1974)
2. Hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988)
3. Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989)
4. Lencana Jasawan
5. Hadiah sastra dari Mendikbud (1992)
6. Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994)
7. Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999)
8. Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI
Selain menjadi sastrawan Ia pernah menjabat dan berpofesi sebagai,Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, di Bukittinggi (1952-1955),Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1972),Dosen part time Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, jurusan Sosiologi Minangkabau (1983-1985),Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS, Kayutanam sejak tahun 1968,Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat .
Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual,walaupun kini “sang pencemooh” telah tiada,namun kontribusinya dalam dunia sastra Indonesia manjadi sebuah harta yang harus kita jaga dan kita hargai selamanya

1 komentar: