Sabtu, 28 November 2009

biografi SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA

Layar terkembang adalah salah satu masterpiece dari seorang Sutan Takdir Alisyahbana, tidak hanya dikenal sebagai seorang sastrawan, tapi dia juga adalah seorang pendidik, penerbit, dan ahli filsafat. Di dalam hidupnya Sutan Takdir Alisyahbana sering terlibat dalam diskusi seni yang pokok pembahasannya adalah “ mempertahankan gagasan tentang pemertahanan terhadap budaya lokal “.Beliau lahir pada tanggal 11 Februari 1908 di Natal, Sumatra Utara. . Ia bukan hanya pendiri Angkata Poedjangga Baru. Ia menjadi salah satu peletak dasar peradaban bangsa dengan menjadikan bahasa Indoneisa sebagai bahasa modern. Lewat Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia yang ditulisnya, Takdir (begitu ia disebut) adalah guru pelajaran bahasa Indonesia di setiap sekolah. Dalam komisi Bahasa Indonesia, Organisasi buatan Jepang, Takdir berhasil menghimpun 400 ribu istilah dalam bahasa Indonesia. Takdir mengaku orang campuran. Ayahnya berdarah Jawa, yaitu Raden Alisjahbana gelar sultan Arbi. Gelar raden itu suatu kelak diakui kesultanan Yogyakarta. Malah, ia pernah disuruh mengamat-amati aktivitas Sentot Alibasjah (pengikut pangeran Diponegoro) yang dibuang di Bengkulu.
Ayah Takdir, Raden Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya “Layar Terkembang”.

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, Takdir melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, Takdir melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah Takdir bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Arminjn Pane.

Takdir pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, Takdir pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Takdir sudah menulis sejak berusia 17 tahun. Ketika masih tinggal di Muara Enim, ia mengarang surat-surat Tani dalam bahasa Belanda. Sempat berkecimpung di dalam dunia pendidikan, Takdir akhirnya memilih terjun di dunia tulis –menulis. Ketika Adinegoro, redaktur Panji Poestaka, pindah ke Medan, posisinya digantikan Takdir. Saat itu ia mulai merintis Gerakan Sastra Baroe tahun 1933, dengan melibatkan para intelektual zaman itu,seperti Armijn Pane dan Amir Hamzah. Sekitar 20 orang intelektual Indonesia menjadi inti gerakan Poedjangga baru, diantaranya Prof. Husein Djajaningrat, Maria Ulfah Santoso, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta.
Poedjangga baru diterbitkan pertaman kali oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer, seorang berkebangsaan Belanda. Perjalanan Takdir dalam dunia sastra menghasilkan suatu kesimpulan yang akan terus menjadi visi perjuangannya. Baginya, sastra yang bertanggungjawab adalah yang bisa menjadi kebangkitan dunia baru. Tidak eksklusif dalam individualisme atau sekedar mencurahkan perasaan yang egois, tanpa kepedulian terhadap krisis yang terjadi dalam masyarakat. Modernitas yang dilandasi rasionalitas adalah kunci pemikiran Takdir. Konsep inilah yang ia pertahankan sejak Polemik Kebudayaan di era 30-an.
Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang saya namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional yang dikuasai oleh nilai-nilai agama dan seni). Yang pertama berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi, tulis Takdir di tahun 1986. Bagi Takdir, kebudayaan adalah totalitas ilmu, teknologi, dan agama. Ia pendiri Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) serta Universitas Nasional, ia sempat lama jadi rektor. Ia tak pernah letih menganjurkan penerjemahan karya-karya asing secara besar-besaran. Lihat Jepang, mereka sampai menerjemahkan ensiklopedi, katanya.
Sutan Takdir Alisyahbana adalah tipe orang yang suka melakukan sesuatu dengan penuh totalitas.“ saya adalah orang fanatik dalam melakukan sesuatu…”.Sutan Takdir Alisyahbana berpendapat bahwa semua orang menerima bahwa kemajuan itu adalah berdasarkan kemajuan budaya modern, kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, bukan berasal dari kebudayaan nenek moyang. Menurutnya pemuda bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang dilakukan oleh nenek moyang. Sastra yang dibangun itupun haruslah sastra yang sesuai dengan perasaan, pemikiran, dan suasana masyarakat yang menuju kearah zaman sekarang yang melihat kedepan itu, yang dianggap lebih rasionalis.


Yang menjadi pusat perhatian sutan Takdir Alisyahbana adalah menyiapkan Bahasa Indonesia untuk menjadi sarana pemikiran baru dalam kehidupan. Makna yang tersirat di dalam Kata Poejangga baru itu sendiri adalah Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum.

“ Kita harus bangkit ke Kesusastraan baru, menyesuaikan diri akan masyarakat akan kebudayaan yang cepat berubah, peran sastra itu harus bertnggung jawab kepada Bangsa Indonesia…”

Begitulah tegas Sutan Takdir Alisyahbana dalam rekaman wawancara, dalam penerbitan karya sastranya, ia tidak sembarangan, karya – karyanya yang diterbitkan selalu mengalami proses koreksi yang panjang, karena baginya karya sastra itu adalah sebuah tanggung jawab.“ suatu karya sastra itu adalah sebuah tanggung jawab, apa yang ada dialam pikiran itu dituliskan dan diucapkan tanpa ada filsafat yang mendasarinya “.

Selama hidupnya beliau telah menciptakan berbaga macam karya ,diantaranya adalah:
• Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
• Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
• Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
• Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
• Layar Terkembang (novel, 1936)
• Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
• Puisi Lama (bunga rampai, 1941)Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
• Pelangi (bunga rampai, 1946)Pembimbing ke Filsafat (1946)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
• The Indonesian language and literature (1962)
• Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
• Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
• Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
• Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
• The failure of modern linguistics (1976)
• Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
• Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
• Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
• Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)Kalah dan Menang (novel, 1978)
• Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
• Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
• Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
• Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
• Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
• Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
• Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).
Buku mengenai STA: Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) dan S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006).
Beliau juga banyak mendapatkan penghargaan diantarannya:
• Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
• STA adalah pelopor dan tokoh "Pujangga Baru".
Seperti kata-katanya “ dan hidup berjalan terus…”.Beliau memang telah tiada ,ajal menjemputnya pada tanggal 17 juli 1995,namun masih ada sesuatu yang ingin beliau wujudkan yaitu menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan

1 komentar:

  1. ini tugas is lho
    kok gua yang ngerjain..
    namanya juga..
    tak kenal logika
    hahahah
    kekasih ini
    kan dapat pengetahuan juga
    ;)
    cup

    BalasHapus